Dasar Hukum Asuransi Kesehatan *
BPJS hanya melayani Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan rawat inap Standar ??? Sesuai Amanat UU JKN ?? Defisit BPJS teratasi ??

Oleh:
Dr. Abd. Halim. SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

Asuransi berasal dari kata insurance (Inggris) yang artinya pertanggungan atau penjaminan. Dalam penerapannya, asuransi merupakan suatu perjanjian antara tertanggung (nasabah) dengan penanggung (perusahaan asuransi). Pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul dimasa yang akan datang setelah tertanggung menyepakati pembayaran uang yang disebut premi. Premi adalah uang yang dikeluarkan tertanggung sebagai imbalan kepada penanggung.
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis perlindungan finansial untuk jiwa, properti, kesehatan dan sebagainya yang mendapatkan penggantian dari kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dengan melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan. Perjanjian antara kedua pihak ini disebut dengan ‘kebijakan’. Kebijakan ini merupakan sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, biaya yang dibayar oleh tertanggung kepada penanggung untuk risiko yang ditanggungnya (premi). Besar nilai premi umumnya ditentukan oleh penanggung yang terdiri dari dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.
Berdasarkan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Dari definisi ini terkandung pengertian asuransi sebagai berikut :
a. Terdapat suatu kerugian akibat adanya suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapatkan keuntungan yang diharapkan akibat dari suatu peristiwa yang tidak pasti terjadi.
b. Pihak tertanggung berjanji membayar uang premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan angsuran.
c. Pihak penanggung berjanji akan membayar sejumlah uang kepada tertanggung, sekaligus atau secara angsuran jika terjadi/terlaksana unsur pada point a.
Dalam perhitungan premi, penanggung menggunakan ilmu aktuaria untuk menghitung risiko yang dapat diperkirakan. Ilmu aktuaria memakai statistika dan probabilitas untuk memperkirakan klaim nantinya dengan akurasi yang dapat diandalkan. Contohnya, seseorang mengasuransikan kesehatan dengan membayar premi ke perusahaan asuransi. Apabila gangguan kesehatan yang dilindungi terjadi, maka penanggung harus membayarkan klaim biaya kesehatan. Bagi tertanggung, perhitungannya bahwa premi yang dibayarkannya jauh lebih kecil dari klaim yang dibayarkan oleh penanggung. Bagi penanggung, ia mendapatkan keuntungan investasi yang didapat dari investasi premi yang diterima sampai harus membayar klaim. Dengan konsep yang demikian maka perasuransian memiliki prospek untuk terus berkembang.
Demikian prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga atau perusahaan yang bergerak di bisnis asuransi adalah:
a. Insurable interest yaitu hak untuk mengasuransikan yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
b. Utmost good faith yaitu suatu tindakan mengungkapkan secara akurat dan lengkap semua fakta yang material atau material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya si penanggung harus jujur menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat/kondisi dari asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.
c. Proximate cause yaitu suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen.
d. Indemnity yaitu suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian.
e. Subrogation yaitu pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
f. Contribution yaitu hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.
Dari konsepsi asuransi tersebut dapat dijelaskan bahwa fungsi utama asuransi adalah sebagai mekanisme pengalihan resiko dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung. Pengalihan resiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan fasilitas pengamanan keuangan (financial security) dan ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya tertanggung wajib membayarkan premi dalam jumlah relatif kecil dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dialami.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menjelaskan hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung sebagai berikut:
a. Kewajiban yang harus diperhatikan oleh tertanggung adalah :
1) membayar premi
2) mencegah agar kerugian dapat dibatasi
3) kewajiban khusus yang disebut sebagai polis
4) memberitahukan keadaan-keadaan sebenarnya mengenai barang yang dipertanggungkan.

b. Hak yang dipunyai tertanggung adalah :
1) menerima polis
2) mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi peristiwa itu
3) hak-hak lainnya sebagai imbalan dari kewajiban penanggung.

c. Penanggung mempunyai kewajiban, yaitu :
1) Memberikan polis kepada tertanggung
2) Mengganti kerugian dalam asuransi ganti rugi dan memberikan sejumlah uang yang telah disepakati dalam polis asuransi tersebut
3) Melaksanakan premi restorno tertanggung yang beritikad baik, berhubung penanggung untuk seluruhnya atau sebagian tidak menanggung risiko lagi dan asuransinya gugur atau batal seluruhnya atau sebagian.

d. Hak-hak penanggung adalah :
1) Menerima premi dari tertanggung
2) Karena perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik, maka dapat dilihat bahwa hak penanggung adalah paralel atau sejajar dengan kewajiban pihak tertanggung.

Sedangkan tujuan asuransi sebagaimana telah dicantumkan dalam klausal perjanjian pertanggungan adalah merupakan:

a. Pengalihan Risiko
Mengalihkan segala risiko yang menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadinya kepada orang lain yang mengambil risiko untuk mengganti kerugian yang dapat terjadi dengan membayar premi kepada penerima resiko.

b. Pembayaran Ganti Kerugian
Untuk menggantikan kerugian pada tertanggung, tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia benar-benar menderita kerugian. Dalam asuransi, setiap waktu selalu dijaga supaya jangan sampai seseorang tertanggung hanya menyingkirkan suatu kerugian (resiko) saja dan mendapatkan suatu keuntungan dengan menikmati asuransi dengan cara memakai spekulasi tertentu yang diperjanjikan.

c. Pembayaran Santunan
Tertanggung yang membayar adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang. Jika mereka mendapatkan suatu musibah kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan, mereka (atau ahli waris) memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN) yang jumlahnya ditetapkan oleh undang-undang.

Negara menyadari pentingnya kesehatan sebagai syarat kesejahteraan hidup dan berupaya menyediakan dana bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan yang dilaksanakan pemerintah adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sejak tanggal 1 Januari 2014 resmi diberlakukan Pemerintah dengan menunjuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai penyelenggara. JKN adalah program untuk jaminan kesehatan nasional yang memberikan jaminan kesehatan masyarakat yang kepesertaanya bersifat wajib (tidak terkecuali warga tidak mampu karena metode pembiayaan kesehatannya ditanggung pemerintah).
Dewasa ini Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu program pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dasar hukum penunjukkan BPJS sebagai penyelenggara JSN adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Demikian BPJS Kesehatan sebagai badan hukum yang menyelenggarakan JKN bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelayanan kesehatan yang dijamin mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam undang-undang disebutkan bahwa BPJS ini wajib bagi semua warga negara Indonesia termasuk warga negara asing yang telah tinggal di negara Indonesia minimal 6 bulan.
Besaran iuran jaminan kesehatan terhitung dari 1 Januari 2020 bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, anggota TNI, anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non PNS) akan dipotong sebesar 5% dari gaji per bulan dengan ketentuan 4% dibayar pemberi kerja dan 1% peserta. Peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhan yang ditetapkan, yaitu: untuk mendapat fasilitas kelas I per bulan dikenai iuran Rp 160.000 per orang, fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 120.000 per orang, dan fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 42.000 per orang.
Berdasarkan Perpres JKN 75 tahun 2019 yang kemudian dibatalkan oleh MA. Kemudian dikeluarkan lagi Perpres JKN no 64 tahun 2020 yang menaikkan iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 dan menunda kenaikan kelas 3
Sebagai peserta BPJS Kesehatan maka tertanggung berhak: 1) memiliki kartu BPJS Kesehatan, untuk dapat dilayani pada fasilitas kesehatan yang ditunjuk sesuai ketentuan yang berlaku; 2) memperoleh penjelasan tentang hak, kewajiban serta tata cara pelayanan kesehatan; 3) menyampaikan keluhan secara lisan (telepon atau datang langsung) atau tertulis, ke Kantor BPJS setempat.
Kewajiban peserta BPJS Kesehatan yaitu: 1) Membayar iuran, 2) Memberikan data identitas diri untuk penerbitan Kartu BPJS Kesehatan, 3) Mentaati semua ketentuan dan prosedur pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan yang berlaku, dan 4) Menjaga Kartu BPJS Kesehatan agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Jenis pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan terhadap peserta diantaranya:
a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Puskesmas atau Dokter Keluarga, yang meliputi layanan Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Rawat Inap Tingkat Pertama.
b. Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan di rumah sakit, meliputi layanan:
1) Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
2) Rawat Inap Tingkat Lanjutan
3) Rawat Inap Ruang Khusus (ICU,ICCU)
4) Pelayanan Gawat Darurat (Emergency)
5) Persalinan
6) Pelayanan Transfusi Darah
7) Pelayanan Obat sesuai Daftar dan Plafon Harga Obat PT. Askes
8) Tindakan medis operatif dan tindakan medis non operatif
9) Pelayanan cuci darah
10) Cangkok (transplantasi) Ginjal dan ESWL (tembak batu ginjal)
11) Penunjang Diagnostik, seperti Laboratorium, Radiodiagnostik, Elektromedik (USG, CT Scan dan MRI)

b. Alat Kesehatan, yang meliputi :
1) IOL, Pen dan Screw dan Implant lainnya
2) Kacamata (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
3) Gigi Tiruan (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
4) Alat Bantu Dengar (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
5) Kaki/ tangan tiruan (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga).

Pelayanan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan terhadap peserta meliputi :
a. Pelayanan yang tidak mengikuti prosedur atau ketentuan yang berlaku
b. Penyakit akibat upaya bunuh diri atau dengan sengaja menyakiti diri
c. Operasi plastik kosmetik, termasuk obat-obatan
d. Check Up atau General Check-Up
e. Imunisasi diluar imunisasi dasar Seluruh rangkaian usaha ingin punya anak (infertilitas) Penyakit akibat ketergantungan obat atau alkohol
f. Sirkumsisi tanpa indikasi medis
g. Obat-obatan diluar DPHO termasuk Obat gosok, vitamin, kosmetik, makanan bayi
h. Pelayanan kursi roda, tongkat penyangga, korset dan lain-lain
i. Pengobatan di luar negeri
j. Pelayanan ambulance, pengurusan jenazah dan pembuatan visum et repertum termasuk biaya foto copy, administrasi, telepon, dan transportasi
k. Pemeriksaan kehamilan, gangguan kehamilan, tindakan persalinan, masa nifas anak ketiga dan seterusnya
l. Usaha meratakan gigi, dan membersihkan karang gigi.

Fasilitas yang dijanjikan BPJS Kesehatan kepada peserta JKN diantaranya:
a. Untuk Bukan peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran)

1) Pekerja penerima upah (PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta, akan mendapatkan pelayanan kelas I dan II
2) Pekerja bukan penerima upah (Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, karyawan swasta) akan mendapatkan pelayanan kelas I, II dan III sesuai premi dan kelas perawatan yang dipilih.
3) Bukan pekerja (investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan serta janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan. Termasuk juga wirausahawan, petani, nelayan, pembantu rumah tangga, pedagang keliling dan sebagainya) bisa mendapatkan kelas layanan kesehatan I, II, dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih.

b. Penerima Bantuan Iuran (PBI)
Orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang dibayarkan preminya oleh pemerintah (pemerintah pusat atau pemerintah daerah) mendapatkan layanan kesehatan kelas III.

Dalam berita media baru baru ini Menkes Terawan, berkeinginan melebur kelas kepesertaan BPJS Kesehatan secara bertahap hingga Desember 2020. Dalam sistem kelas tunggal, besaran iuran dan pelayanan akan diseragamkan. Untuk menekan defisit, cakupan layanan berpotensi berkurang.

Pada pasal 23 ayat 4 dan 5 UU SJSN yang berbunyi ” Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”. Ketentuan lebih lanjut tentang ayat (4) tersebut dalam ayat (5)  menyatakan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Merujuk pada UU SJSN dan UU BPJS, cakupan layanan kesehatan tidak boleh berkurang. Harus merujuk pelayanan kesehatan dengan menggunakan dua parameter yang tercantum dalam pasal 19 (ayat 2), dan Pasal 22 (ayat 1).

Parameter pasal 19 (ayat 2), menegaskan bahwa peserta mendapatkan manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Parameter ini jelas maknanya bahwa peliharalah kesehatan peserta sesuai dengan kebutuhan dasar (elementer),  untuk dapat tetap sehat, jasmani dan rohani ( fisik dan mental).

Parameter kedua terkait hak peserta itu, pada pasal 22 (ayat 1), memberikan batasan cakupan pelayanannya yang komprehensif mulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Termasuk hak untuk mendapatkan obat dan bahan medis pakai lainnya, sesuai dengan keperluannya.

Pemerintah (baca Kemenkes), asyik bermain-main dengan kelas 1,2, dan 3, yang berakibat juga adanya tarif kelas 1, 2, dan 3, yang menimbulkan berbagai persoalan rumitnya menghitung besarnya biaya kesehatan untuk JKN.

Dengan pola tarif kelas 1, 2, dan 3  yang eksisting saat ini, juga tidak sesuai  pasal 2 UU SJSN, yang mengedepankan asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial. Adanya stratifikasi kelas perawatan itu tidak dapat dihindari perbedaan perlakuan pelayanan medis maupun non medis bagi mereka yang membayar dengan tarif yang berbeda, karena hal itu menunjukkan kelas perawatan yang berbeda.

Perbedaan perlakuan ini, jika dibiarkan akan menyuburkan terjadi moral hazard bahkan fraud dalam pelayanan peserta JKN di faskes. dan hal tersebut sudah terjadi, sejak 3-4 tahun belakangan ini.

Implikasinya  terjadi defisit pembiayaan JKN,  bahkan hampir pada situasi gagal bayar. Penyebabnya bukan saja karena persoalan tarif kelas perawatan, tetapi juga ada faktor lain yang berkontribusi besar yaitu besaran tarif PBI, dan Manajemen Standard Pelayanan Medis di faskes yang belum tuntas.
Pemerintah belakangan menyadari (walaupun terlambat), bahwa persoalan standarisasi pelayanan medis untuk kepentingan memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dan pelayanan yang komprehensif ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), diperlukan pengaturan yang jelas yang harus tertuang dalam Perpres JKN.
Menkes dr.Terawan mulai menyiapkan rumusan dan langkah-langkah teknis operasional untuk menuju pola pelayanan JKN yang sesuai dengan amanat UU SJSN. sebagaimana diberitakan di berbagai media beberapa hari ini. Karena hal itu tertuang dalam Perpres JKN  64/2020.

Kakau kita baca  pasal 54A Perpres JKN 64 tahun 2020 yang berbunyi: “Untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, Menteri bersama kementerian/ lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas kesehatan melakukan peninjauan Manfaat Jaminan Kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat bulan Desember 2020.” dan Pasal 54B “Manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54A diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022 dan pelaksanaannya dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan tata kelola Jaminan Kesehatan.” Kata kuncinya pasal 54 A dan 54B, adalah peninjauan manfaat Jaminan kesehatan itu harus sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar.
Untuk mendapatkan manfaat jaminan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar kesehatan, secara komprehensif, maka Kementerian Kesehatan menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dalam bentuk Keputusan Menteri. Dari 74 PNPK yang harus diterbitkan Menteri, pada masa Menkes prof Nina F. Moeloek baru separuhnya selesai. Prosesnya memang berjalan alot, karena menyangkut pedoman berbagai jenis penyakit dan penatalaksanaannya yang harus dirumuskan dan disusun oleh ahlinya, sesuai dengan kelompok keahlian (spesialis). Akan Tetapi sampai saat ini, belum ada satu produk Kepmen PNPK yang diterbitkan. Apakah karena kesibukan wabah covid-19, atau memang belum fokus kesitu.
PNPK ini menjadi batasan  bagi faskes untuk memberikan  kebutuhan dasar kesehatan,  yang bersifat komprehensif dan ber indikasi medis, sebagaimana amanat UU SJSN.
Kita dapat membayangkan sulitnya bagi BPJS Kesehatan  untuk mengendalikan klaim pelayanan kesehatan di RS, jika PNPK ini belum lengkap, dan menjadi celah terjadinya moral hazard bahkan fraud.
Demikian juga halnya, terkait dengan rawat inap kelas standar, bukan diartikan kelas perawatan tanpa kelas atau kelas bangsal. Bukan seperti itu pemahamannya. Undang-undang SJSN mengisyaratkan bahwa setiap peserta berhak mendapatkan perawatan di kelas. Apa kategori kelasnya, ya kategorinya standar. Apa batasannya, dirumuskan oleh pemerintah untuk dicantumkan dalam Perpres JKN.

Dalam merumuskan kelas standar, variabel utamanya adalah luas, dan jumlah tempat tidur, dan standar peralatan yang diperlukan, serta tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya. Komponen biaya kelas standar sebagai komponen non medis, di kombinasikan dengan tarif medis, serta potensi jumlah peserta JKN, dapatlah tarif biaya JKN per orang per bulan.

Dari situ, dengan mengacu pada tarif eksisting setiap kelas 1,2, dan 3 saat ini, tentu tidak sulit lagi menentukan kategori dan lingkup dari kelas standar. Rumusan dimaksud  harus  tuntas akhir tahun 2020.

Bagi RS yang sudah bekerjasama dengan BPJS kesehatan,  akan mendapatkan kepastian tentang kategori kelas standar, serta dapat menyiapkan setting kelas perawatan standar, pada saat melanjutkan perjanjian kerjasama tahun berikutnya. Pihak BPJS kesehatan harus mampu menghitung dan memproyeksikan jumlah tempat tidur pada kelas standar yang disiapkan oleh RS, dan bagian dari isi perjanjian kerjasama.
Dengan keharusan penyiapan kelas standar oleh RS, dengan memperhitungkan angka morbidity yang memerlukan perawatan inap, maka pihak BPJS Kesehatan dapat menyampaikan kepada Kemenkes dan PERSI, menyiapkan RS, sesuai dengan ratio peserta serta peta wilayah dimana peserta itu berada.
Kalau pendekatan demand and supply itu dapat dilakukan, maka kita akan menuju pelayanan kesehatan yang bermutu dan memberikan kepuasan kepada peserta.
Apakah Amanat UU SJSN dan JKN telah mereduksi kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan pelayanan yang bermutu dan kompreshinsif.
Dalam amandemen keempat UUD 1945 memberikan jaminan yang lebih komprehensip dalam Pasal 28 H ayat (1) bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam Pasal 5 UU Kesehatan disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; dan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Artinya setiap warganegara mendapat jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan optimal, merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara (di bidang kesehatan).
Pemenuhi hak kesehatan dalam Pasal 7 UU Kesehatan dinyatakan bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Ditegaskan dalam Pasal 9 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam Pasal 10 dinyatakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Terlihat bahwa ada ketidaksinambungan antar UU yang ada pasal yang mereduksi ketentuan yang lain. Kepastian hukum ??

Banjarbaru, 21 Juni 2020
Dokter Utama/ Internist RSDI dan KLINIK HALIM MEDIKA
Candidat Doktor Ilmu Hukum PDIH UNISSULA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kode Etik Kedokteran KODEKI