Kajian yuridis Hak peserta BPJS Bab I

BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Memilih Judul
  Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain diakui dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. Pada lingkup nasional, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh kesehatan” dan Pasal 28 H ayat (3) bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Jaminan kesehatan sebagai hak dasar tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Di tengah situasi krisis ekonomi yang dihadapi masyarakat, kebutuhan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau menjadi dilema bagi masyarakat sebagai obyek pelayanan maupun pemerintah selaku penyelenggara. Di satu sisi kesehatan merupakan landasan utama mencapai harkat kemanusiaan dan kelestarian generasi, seharusnya diikuti kebijakan dan implementasi nyata untuk memenuhi hak kesehatan warganegara. Di sisi lain adanya keterbatasan finansial dan kemampuan masyarakat membiayai pelayanan kesehatan relatif tinggi. Padahal apabila dicermati komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran untuk pelayanan kesehatan masyarakat relatif terbatas, dan apabila dikaitkan dengan amanah Pasal 28H UUD 1945, semestinya pelayanan dasar kesehatan masyarakat diperoleh tanpa biaya (ditanggung negara). Namun, karena adanya keterbatasan kemampuan Negara (pemerintah), maka pelayanan dasar kesehatan yang menjadi hak warganegara dipenuhi relatif sesuai kemampuan Negara, atau setidaknya dapat dilakukan bertahap berdasarkan skala prioritas.
Untuk mewujudkan hak hidup sehat masyarakat  dibutuhkan sumber dana kesehatan atau pembiayaan kesehatan. Dalam Pasal 170 UU Kesehatan diatur bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah mencukupi, teralokasi adil, termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggara pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Sumber dana kesehatan berasal dari Pemerintah, masyarakat, swasta dan sumber lainnya. Misalnya untuk sumber lain, penyelenggaraan jaminan kesehatan dapat memanfaatkan dari tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan SDA.
Berdasarkan ketentuan pembiayaan kesehatan, dapat ditafsirkan bahwa tidaklah mungkin pemerintah menanggung atau melaksanakan sendiri pembiayaan kesehatan yang merupakan salah satu unsur pokok terwujudnya derajad kesehatan setinggi-tingginya. Karena itu perlu diselenggarakan jaminan pembiayaan kesehatan sekaligus pelaksanaan JSN. Secara khusus tanggung jawab Pemerintah dalam pelaksanaan JSN ini diatur pada Pasal 20 UU Kesehatan yang menyebutkan Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistim JSN bagi upaya kesehatan perorangan, yang sistimnya dilaksanakan sesuai peraturan perundangan.
Asuransi kesehatan merupakan salah satu solusi permasalahan di atas. Mereka yang menjadi peserta asuransi kesehatan mesti membayar premi secara rutin dengan sistem penanggungan bersama. Dengan memegang polis asuransi kesehatan, peserta mendapat kepastian dalam perencanaan keuangan terutama berkaitan dengan perawatan kesehatan tertentu yang memerlukan biaya tinggi. Anggaran penanggungan didapat dari polis peserta berdasarkan perjanjian pertanggungan (asuransi kesehatan). Pengertian pertanggungan dalam Pasal 246 KUHPerdata yaitu perjanjian timbal balik antara penanggung dengan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian atau membayar santunan yang ditetapkan pada waktu penutupan perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada waktu terjadi evenem, sedang penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi.
Dewasa ini JKN salah satu program pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Pemerintah yang pelaksanaannya melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penunjukkan BPJS sebagai penyelenggara JSN didasari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Pelayanan kesehatan yang dijamin mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) sebagai mitra dalam melayani peserta BPJS seperti: rumah sakit pemerintah dan swasta, klinik-klinik kesehatan, praktik dokter, apotik, optik, dan lainnya. Perikatan kerjasama ini dituangkan dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding-MOU) yang mengatur mengenai hak dan kewajiban setiap pihak. BPJS Kesehatan dalam menjalankan program JKN masih belum optimal seperti diharapkan pemerintah atau tuntutan peserta BPJS Kesehatan. Demikian tugas ini diharapkan secara bertahap dapat memberikan jaminan kepada seluruh rakyat, agar memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal.
Disinyalir masih banyak peserta BPJS Kesehatan mengeluhkan pelayanan kesehatan yang didapatkan, seperti belum sepenuhnya terpenuhi pelayanan fasilitas kesehatan seperti penyedian rawat inap dan pengembalian uang peserta BPJS Kesehatan atas pembelian obat diluar apotik Rumah Sakit sesuai Kepmenkes No.Hk.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional. Padahal dalam pertanggungan kesehatan yang tujuannya semata-mata untuk mengganti kerugian pembiayaan pelayanan kesehatan seperti yang diperjanjikan, maka nilai benda dipertanggungkan dan obyek-obyek tanggungan penting untuk diketahui peserta asuran kesehatan, terutama untuk dasar klaim atas pertanggungan pelayanan kesehatan tersebut.
Terlepas dari tidak terlayani hak-hak peserta BPJS Kesehatan (sebagai das solen), maka sesungguhnya pemerintah diberikan amanah untuk melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak atas kesehatan yaitu memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Mengingat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, masyarakat harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Masyarakat berpenghasilan rendah seringkali tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik (das sain). Beberapa peristiwa menunjukan bahwa orientasi PPK untuk mendapatkan profit bisa mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya seorang pasien dalam kondisi kritis pun kadang harus melengkapai berbagai persyaratan dan birokrasi keuangan sebelum mendapatkan pelayanan. Di samping itu ada persepsi masyarakat bahwa pelayanan kesehatan oleh rumah sakit pemerintah yang biasanya biayanya lebih murah, namun kualitasnya lebih rendah. Sedangkan pelayanan kesehatan oleh rumah sakit swasta umumnya memiliki kualitas lebih baik, namun biayanya lebih tinggi. Padahal apabila mengacu kepada prinsip yang harus dipegang bahwa kesehatan haruslah tetap berorientasi kepada pelayanan kemanusiaan dan pemerintah harus memenuhinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam masalah perlindungan hak-hak peserta BPJS Kesehatan dalam suatu tesis hukum dengan judul: “KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK PELAYANAN KESEHATAN PESERTA NON PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI) BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Rumusan dan batasan masalah penelitian tesis hukum ini sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan hukum mengenai perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan ?
2. Bagaimana jaminan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terhadap hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan pembatasan masalah  ditetapkan tujuan penelitian tesis hukum ini sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap hak atas derajat pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
2. Untuk menganalisis jaminan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terhadap hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Adapun kegunaan yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi kalangan teoritis hasil penelitian tesis ini berguna untuk bahan kajian menelaah mengenai perlindungan hukum terhadap hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan mengidentifikasi jaminan hukum BPJS Kesehatan atas hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
2. Bagi kalangan praktis hasil penelitian hukum ini berguna sebagai bahan evaluasi untuk upaya perlindungan hukum terhadap hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan mengkaji jaminan hukum BPJS Kesehatan terhadap hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
3. Bagi masyarakat penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengetahui kekuatan hukum mengenai perlindungan terhadap hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dan mengidentifikasi jaminan hukum BPJS Kesehatan atas hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
E. Landasan Faktual dan Teoritis tentang Perlindungan Hak Atas Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan
1. Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga bagi suatu negara. Prinsip Negara hukum idealnya dibangun dan dikembangkan bersama prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Sehingga hukum dimaksud tidak dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka. Maka prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Oleh Stahl konsep tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu: 1) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) Negara didasarkan teori trias politica; 3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmetig bestuur); dan 4) adanya peradilan administerasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. (onrechtmatig overheidsdaad).
Indonesia sebagai sebuah negara yang lahir abad ke-20, mengadopsi konsep bernegara hukum sesuai prinsip konstitusionalisme. Hal ini terlihat dari kesepakatan (consensus) bangsa Indonesia semenjak UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia ditetapkan. Kesepakatan berkembang menjadi cita-cita bersama yang biasa disebut falsafah kenegaraan (taatsidee) berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms diantara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.  Arti negara hukum pada hakikatnya berakar dari konsep dan teori kedaulatan hukum yang menyatakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
c. Pemilihan umum yang bebas.
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C. Van Der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yaitu asas-asas formal dan asas-asas material. Asas-asas formal meliputi: asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat; asas perlunya pengaturan; asas dapatnya dilaksanakan; asas konsensus. Asas materiil antara lain: asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali; asas perlakuan yang sama dalam hukum atau; asas kepastian hukum; dan asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual.
Konsep negara hukum kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuurfunctie) negara-negara modern. Konsep negara kesejahteraan merupakan kebalikan dari konsep negara hukum formal (klasik), yang didasari pemikiran melakukan pengawasan ketat terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Menurut Anthony Giddens bahwa konsep fungsi negara demikian menjadikan negara memiliki sifat intervensionis, artinya negara selalu ambil bagian dalam setiap gerak dan langkah masyarakat dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.  Karenanya tugas negara menjadi sangat luas dan menjangkau setiap aspek kehidupan dalam segala bidang mulai dari sosial budaya, politik, agama, teknologi, pertahanan keamanan, bahkan sampai ke dalam kehidupan privat warga negara.
Adapun unsur-unsur terpenting yang tidak boleh diabaikan dalam negara hukum kesejahteraan, yaitu:
a. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan/pembagian kekuasaan;
c. Legalitas Pemerintahan;
d. Peradilan Administrasi yang bebas dan tidak memihak; dan
e. Terwujudnya kesejahteraan umum warga negara.
Berdasar penjabaran negara hukum materiil atau negara kesejahteraan, sesuai tujuan negara maka pemerintahan Indonesia diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, melalui penyelenggaraan kepentingan umum (social service atau public service). Rangka mewujudkan tujuan negara, pemerintah dituntut untuk melakukan berbagai fungsi dan tugas, yang pada umumnya terdiri dari tugas mengatur dan mengurus, muaranya adalah perwujudan kesejahteraan seluruh masyarakat. Bila ditelaah konsep negara hukum dan negara kesejahteraan tidak dapat dipisahkan. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat, legitimasi negara hukum menjadi landasan dalam mewujudkan kesejahteraan (welfare state).
Demikian Indonesia tergolong negara kesejahteraan, karena tugasnya tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga harus melaksanakan kesejahteraan sosial guna mencapai tujuan Negara melalui pembangunan nasional. Secara konsitusional negara wajib mengatur dan mengelola perekonomian, cabang-cabang produksi, dan kekayaan alam dalam rangka mewujudkan “kesejahteraan sosial”, memelihara fakir miskin dan anak telantar, serat memberikan jaminan sosial dan kesehatan warga.
2. Konsep dan Teori Keadilan dalam Relevansinya dengan Kostitusi Nasional
Ketika berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para pakar ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik  tidak melewati pelbagai teori yang dikemukakan John Rawls melalui karyanya seperti A Theory of Justice, Political Liberalism, dan The Law of Peoples. Prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan John Rawls diantaranya:
a. Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices),
b. Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance);
c. Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium),
d. Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan
e. Nalar publik (public reason).

Prinsip keadilan yang disampaikan John Rawls umumnya relevan bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Relevansi ini semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi yang menetap di Indonesia tergolong masyarakat kaum lemah yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi jika dicermati konsep Rawls tentang keadilan sosial (social justice), bangsa kita telah menancapkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Istilah “keadilan sosial” disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Artinya keadilan sosial diletakkan menjadi salah satu landasan tujuan dan cita negara (staatsidee) sekaligus dasar filosofis bernegara (filosofische grondslag) yang termaktub pada sila kelima dari Pancasila. 
Dalam konsepsi Rawls, keadilan sosial dapat ditegakkan melalui koreksi atas pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dari institusi-institusi sosial utama, seperti pengadilan, pasar, dan konstitusi negara. Apabila disejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999-2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and freedoms of citizens) yang dimuat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, diantaranya Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani (freedom of conscience), serta kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (freedom of assembly and speech). Begitu pula prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan (difference principle), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sini dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination dibenarkan secara konstitusional. 
Terhadap prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) sebagai prinsip kedua bagian kedua teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia tegas memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa, seperti termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Demikian terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata memasukan prinsip-prinsip keadilan yang digagas John Rawls ke dalam batang tubuh Konstitusi. Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan, eksistensi teori keadilan Rawls kadang diimplementasikan di persidangan ataupun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata Negara sering merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi keadilan yang terkandung dalam Konstitusi. Misalnya, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga jika terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil.
Masih terkait konstitusi, Rawls menggarisbawahi bahwa keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Rawls juga menempatkan moral konstitusi (constitutional morality) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya sudah bersifat adil. Karenanya menurut Rawls antara moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan guna mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi. Sedangkan terhadap konsep demokrasi, John Rawls memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya dipilih melalui cara yang adil. Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik, tetapi pembatasan haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung (the least advantaged).
3. Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) secara mutlak melekat pada diri setiap manusia tidak terbatas pada ras dan warna kulit manusia, bersifat universal,  dan tidak dapat dicabut kedudukan dan fungsinya oleh suatu bangsa meskipun berdasarkan peraturan perundang-undangan, oleh karena HAM sebagai hak-hak yang diberikan Tuhan sejak manusia lahir.   Definisi HAM ini bila dicermati ada dua dimensi terkait HAM, yaitu: Pertama dimensi moral, artinya bahwa HAM adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut, karena hak tersebut merupakan hak manusia karena ia adalah manusia. Jadi hak tersebut diberikan bukan diberikan hukum positif atau negara, melainkan semata-mata martabatnya sebagai manusia. Perlindungan HAM merupakan wujud tanggungjawab moral yang paling tinggi untuk memberi apresiasi pada keberadaan manusia sebagai mahluk yang mempunyai martabat dan harga diri. Kedua dimensi hukum, dalam konsep negara hukum bak nomokerasi Islam, rechtstaat, maupun  The Rule Of Law, terdapat perlindungan hukum HAM yang tidak hanya menjadi persyaratan normatif bagi ada tidaknya negara hukum, tetapi secara empirik persyaratan tersebut harus dilaksanakan oleh negara yang telah mengklaim dirinya sebagai negara hukum.
Berkaitan dengan perlindungan HAM khususnya bidang kesehatan, amandemen keempat UUD 1945 memberikan jaminan yang lebih komprehensip dalam Pasal 28 H ayat (1) bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasioal. Hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus atas kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan:
Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya.

Pada lingkup nasional, dalam Pasal 5 UU Kesehatan disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; dan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Artinya setiap warganegara mendapat jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan optimal, merupakan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara (di bidang kesehatan).
Pemenuhi hak kesehatan dalam Pasal 7 UU Kesehatan dinyatakan  bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Ditegaskan dalam Pasal 9 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam Pasal 10 dinyatakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Dalam hal pembiayaan kesehatan pada  Pasal 170 diatur bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan berkesinambungan dengan jumlah mencukupi, teralokasi secara adil, termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggara pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Demikian atas dasar implementasikan norma-norma HAM terhadaphak atas kesehatan seseorang maka dapat dikatakan bahwa hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat saja, tetapi juga mengandung makna bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan tenaga medisnya, serta selaku pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan tersebut untuk setiap orang yang dijamin menurut peraturan perundang-undangan.
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, yang terdiri dari BPJS Kesehatan serta BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini BPJS Kesehatan dibentuk untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan. Dalam undang-undang disebutkan bahwa BPJS ini wajib bagi semua warga negara Indonesia termasuk warga negara asing yang telah tinggal di negara Indonesia minimal 6 bulan.
BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan programnya memiliki tugas, fungsi serta wewenang dalam mencapai target. Untuk itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang BPJS pada Bab IV sebagai berikut:
a. Fungsi BPJS adalah sebagai berikut:
1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
b. Tugas BPJS adalah sebagai berikut:
1) Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta
2) Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja
3) Menerima bantuan iuran dari pemerintah
4) Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta
5) Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial
6) Membahyarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial; dan
7) Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat
c. Wewenang BPJS adalah sebagai berikut:
1) Menagih pembayaran iuran
2) Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai
3) Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan kegtentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional
4) Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tariff yang ditetapkan oleh pemerintah
5) Membuat atau mengehentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan
6) Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya
7) Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
8) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam penyelenggaraan program jaminan sosial.
Peserta BPJS Kesehatan dapat diartikan sebagai konsumen jasa layanan kesehatan. Dalam Pasal 1 angka 4 UU BPJS menyebutkan peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Peserta BPJS Kesehatan dalam Pasal 4 Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dibagi kedalam 2 kelompok peserta, yakni Peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta bukan penerima bantuan iuran (non PBI). Kriteria orang yang termasuk kedalam kedua kelompok peserta BPJS Kesehatan diatur pada Pasal 6, 7, 8, dan 9 Peraturan BPJS Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan:
a. Penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (PBI); fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Bukan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (non PBI), terdiri dari:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan f yang menerima Upah. Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah. Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya:
a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun, terdiri dari:
(1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
(2) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
(3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
(4) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak pensiun;
(5) Penerima pensiun lain; dan
(6) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain yang mendapat hak pensiun.
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan;
f) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan; dan
g) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan e yang mampu membayar iuran.

Dalam Pasal 10 Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, menyebutkan bahwa anggota keluarga yang ditanggung sebagaimana dimaksud dalam kelompok peserta bukan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan (non PBI), diantaranya:
1. Pekerja Penerima Upah:
a) Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat), sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
b) Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, dengan kriteria:
1) Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri;
2) Belum berusia 21 tahun atau belum berusia 25 tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja : Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang diinginkan (tidak terbatas).
3. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua.
4. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, meliputi kerabat lain seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll.

Kepesertaan BPJS Kesehatan bersifat wajib bagi seluruh rakyat sesuai Pasal 14 UU BPJS. Kewajiban bagi WNI untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan diterapkan guna mendukung kesuksesan progam jaminan sosial yang dicanangkan Pemerintah. Sebab penyelenggaraan jaminan sosial termasuk penyedian fasilitas kesehatan merupakan tanggung jawab negara yang dijamin berdasarkan Pasal 34 UUD 1945.
Mengenai hak dan kewajiban peserta BPJS Kesehatan dalam Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Bab III bagian D dijelaskan setiap peserta BPJS Kesehatan berhak :
a. Mendapatkan nomor identitas tunggal peserta.
b. Memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
c. Memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sesuai yang diinginkan. Perpindahan fasilitas kesehatan tingkat pertama selanjutnya dapat dilakukan setelah 3 bulan. Khusus peserta: Askes sosial dari PT. Askes (Persero), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari PT. (Persero) Jamsostek, program Jamkesmas dan TNI/POLRI, 3 bulan pertama penyelenggaraan JKN, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
d. Mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan terkait dengan pelayanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Adapun kewajiban-kewajiban bagi peserta BPJS Kesehatan, diantaranya:
1) Membayar iuran;
2) Melaporkan perubahan data kepesertaan;
3) Melaporkan perubahan status kepesertaan; dan
4) Melaporkan kerusakan dan/atau kehilangan kartu identitas Peserta Jaminan Kesehatan.

Pengawasan BPJS Kesehatan dilakukan secara eksternal dan internal. Secara eksternal, pengawasan dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga pengawas independen; secara internal diawasi oleh dewan pengawas satuan pengawas internal. Dalam hal peserta tidak puas atas pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan, atau dapat langsung datang ke Posko BPJS di kota dan desa, juga dapat melalui hotline servis BPJS di nomor kontak 500-400.
E. Metode  dan Teknik Penelitian
1. Jenis  Penelitian
Penelitian yang menelaah perlindungan hak atas pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atas hukum normatif (undang-undang) dengan mengkaji bahan pustaka dan data sekunder (study literacy) berupa putusan hukum, asas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal-horisontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum dan meneliti bekerjanya hukum di masyarakat yang berasal dari fakta yang ada di dalam masyarakat dan badan. 
2. Tipe Penelitian
  Tipe penelitian ini adalah berupa inventarisasi bahan hukum dan peraturan perundangan. Inventarisasi bahan hukum ini merupakan penelitian yang berupaya mencari asas atau dasar falsafah peraturan perundangan, atau usaha penemuan hukum sesuai dengan kasus tertentu.  Dalam hal ini yang dinventarisir adalah bahan hukum dan peraturan perundang-undangan terkait perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian hukum normatif ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), yang disebut oleh sebagian ilmuwan dengan pendekatan yuridis (yuridis approach). Yang dimaksudkan penelitian ini pada hakekatnya mengacu pada ketentuan terpenuhi tuntutan secara keilmuan hukum khusus ilmu hukum dogmatik. Ukuran melihat atau menentukan permasalahan hukum konkrit memenuhi kriteria yuridis atau tidak.  Dalam penelitian dilakukan pendekatan bersumber bahan hukum primer dan sekunder berupa peraturan perundangan positif terkait perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
4. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah preskriptif analisis. Penelitian yang bersifat preskriptif analisis dimaksudkan dalam rangka memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang dilakukan, berguna untuk memberikan berbagai penjelasan, petunjuk, dan fakta hukum yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.  Dalam penelitian ini dibahas permasalahan hukum mengenai perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
5. Sumber Bahan Hukum
Sumber hukum yang dipakai dalam penelitian berupa bahan hukum primer, bahan sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan yang digunakan meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan acuan berupa norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan yang terkait perlindungan hak atas derajat pelayanan kesehatan yang optimal bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
6) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
8) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan Kesehatan.
9) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehehatan.
10)Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga BPJS.
11)Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
12)Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
13)Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s)
14) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
15)Peraturan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum pendukung untuk mengkaji  perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan berupa buku, tulisan para ahli hukum, hasil penelitian, makalah, jurnal, artikel, laporan, seminar/pertemuan ilmiah relevan dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi berbagai petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder seperti: kamus umum, kamus hukum, eksiklopedia, serta bahan-bahan primer, bahan-bahan sekunder dan bahan-bahan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian tesis hukum ini. Juga apabila diperlukan maka akan digunakan data dari situs web sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian tesis hukum ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian yang berkaitan dengan studi normatif dimana data didapat diusahakan data valid dan representatif berupa data primer dan data sekunder yang didapat melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu bahan peraturan perundang-undangan berkenaan perlindungan hak pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, dan bahan sekunder lain seperti literatur serta berbagai dokumen yang mendukung menjawab permasalahan penelitian.
7. Pengolahan Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum terkumpul, diolah dan dianalisis dimana bahan hukum primer dianalisis secara normatif, bahan hukum sekunder ditelaah mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mendasari ketentuan perlindungan hak pelayanan kesehatan peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, dan bahan hukum tersier dilakukan penelaahan mengacu kepada petunjuk-petunjuk dan penjelasan-penjelasan yang memang mampu menjelaskan tentang istilah, pengertian, dan pemaknaannya.
G. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis hukum ini terdiri dari empat bab dengan rincian:
Bab I pendahuluan berisi alasan memilih judul, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, landasan faktual dan teoritis tentang perlindungan pelayanan kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan, yang berisi: tinjauan umum konsep Negara Hukum, konsep dan teori keadilan dalam relevansinya dengan Kostitusi Nasional, kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia,, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan; serta metode penelitian, dan pertanggungjawaban sistematika penulisan.
Bab II Analisis tentang perlindungan hukum terhadap hak  peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang memuat: perlindungan hukum terhadap hak peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan atas pelayanan kesehatan dalam konsep Negara Kesejahteraan, dan sanksi terhadap pihak yang melanggar hak atas pelayanan kesehatan Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan
Bab III Analisis tentang jaminan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan terhadap hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan, yang memuat perlindungan hukum atas hak peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), dan kepastian hukum pembayaran bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari pelayanan kesehatan Peserta BPJS Kesehatan.
Bab IV berisi Penutup yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian hukum dan saran-saran yang berhubungan dengan hasil penelitian hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Wiku. Sistem Kesehatan. Cetakan 3. Rajawali Press. Jakarta. 2010.
Andrianto, Andi. Simpel Konsep Pemasaran Asuransi. Andra Biz. Jakarta. 2014.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2010.
Barkatullah, Abdul Halim. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media. Bandung. 2010.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008.
Budiyono & Rudy.  Konstitusi dan HAM. Justice Publisher. Bandar Lampung. 2014.
Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. 2012. Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH Perdata dan Perkembangannya. Cetakan kesatu. Bandung: PT. Refika Aditama.
Dedi. Pelanggaran Hak Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam Pelayanan di Rumah Sakit. Program Studi Ilmu Hukum/Hukum Kesehatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. 2018.
Dewan Jaminan Sosial Nasional. Mulai 1 Januari 2014 Sistem Jaminan Sosial Terbaru Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Resmi Diberlakukan. Liputan 6.Com. diakses tgl. 25-05-2014.
Eliza, Pocut. Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis Evaluasi Hukum  Mengenai Pemenuhan Hak Kesehatan. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM. Jakarta. 2017.
Faiz, Ran Mohammad. Teori Keadilan John Rawls (John Rawls’s Theory of Justice). Jurnal Konstitusi. Vol.6. Nomor 1. April 2009.
Isfandyarie, Anny. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Prestasi Pustaka. Jakarta. 2006.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia. Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. 2002.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media. 2011.
Koentjoro, Diana Halim. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia. Bogor. 2004.
Kusnardi, Moh.  dan Ibrahim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. PS HTN FH UI dan Sinar Bakti. 1998.
Lopa, Baharuddin. Hak-hak Asasi Manusia. Dhana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. 2001.
Mahfud MD. Kontribusi Pemikiran Untuk 50 tahun (Retropeksi terhadap masalah hukum dan kenegaraan). FH UII Press.Yogyakarta. 2007.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.  Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2009.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty. Jogjakarta. 1999.
Moelok F.A. Hak Untuk Hidup Sehat (Paradigma Sehat). Seminar dan Lokakarya Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Jakarta, 19-20 Maret 2003.
Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 2000.
Nurhayati. Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asuransi Kesehatan pada PT. Askes  (Persero) Cabang Semarang. Tesis. Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. 2010.
Pramukti, Angger Sigit dan Panjaitan, Andre Budiman. Pokok-Pokok Hukum Asuransi. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. 2016.
Putri, Asih Eka. Seri Buku Saku-2: Paham BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Friedrich-Ebert-Stiftung. Jakarta. 2014.
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Djambatan. Jakarta. 1993.
Raharjo, Satjipto . Teori Hukum Progresif.  Resume Hukum Progresif Teori Satjipto Raharjo. Fakutas Hukum Universitas Indonesia Press. Jakarta. 2010.
Rawls, John. A Theory of Justice.Oxford University Press. Londin. 1973. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Teori Keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2006.
Ridho, R. Ali. Prinsip dan Fungsi Asuransi dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal dan Asuransi Haji. Alumni. Bandung. 2012.
Setiono. Rule Of Law (Supremasi Hukum). Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta. 1984.
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif  Suatu Tinjauan Singkat. Cet. Ke-11. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Kanisius. Yogyakarta. 2010.
Tahir, Muhammad. Negara Hukum. Perenada Media. Jakarta. 2004.
Tengker, Fredy. Hak Pasien. Mandar Maju. Bandung. 2007.
Tim Penyusun BPJS Kesehatan. Kedudukan dan Status Kelembagaan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan. Jakarta. 2017.
Tjandra, W.Riawan. Hukum Sarana Pemerintahan. Cahaya Atma Pustaka. Jakarta. 2014.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Cerdas Pustaka. Jakarta. 2008.
Usman, Fuad & Arief, M. Security For Life (Hidup Lebih Nyaman dengan Bersaransi), PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 2004.
Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan Kesehatan.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga BPJS.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 99 tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Peraturan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Internet/Website
https://news.detik.com/berita/d-3643405/icw-temukan-49-kecurangan-terkait-jaminankesehatan-di-15-provinsi?source=graboards.com diakses tgl. 26-09-2019.
https://www.bpjs-kesehatan.go.id/statis-15-faskes.html. diakses tgl.25-04-2019.
https://www.thefreedictionary.com/insurance. diakses tgl. 20-03-2019.
https://www.google.co.id/pengertian+asuransi. diakses tgl. 20-03-2019.
https://imastiara.wordpress.com/2014/04/17/analisis-bpjs-kesehatan. diakses tgl. 17-09-2019.

TESIS SEMENTARA
KAJIAN  YURIDIS  TERHADAP  PERLINDUNGAN  HAK PELAYANAN KESEHATAN  PESERTA  NON  PENERIMA  BANTUAN  IURAN  (PBI)
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN


Untuk memenuhi sebagian
Dari syarat-syarat guna mencapai
Gelar Magister Hukum




Oleh :
Nama : dr. Abd. Halim, Sp.PD., SH.
NIM : S2 1801 235
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
STIH Sultan Adam



PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM
BANJARMASIN
2 0 1 9

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Alasan Memilih Judul 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan  dan Manfaat Penelitian 4
D. Landasan Faktual dan Teoritis tentang Perlindungan Hak Pelayanan
Kesehatan bagi Peserta Non Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan 5
1. Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum 5
2. Konsep dan Teori Keadilan dalam Relevansinya dengan Kostitusi Nasional 7
3. Kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia 9
4. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 11
E. Metode dan Teknk Penelitian 15
F. Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan 18
BAB II ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK  PESERTA NON PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI) BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN 19
A. Perlindungan Hukum terhadap Hak Peserta Non Penerima Bantuan Iuran
(PBI) BPJS Kesehatan atas Pelayanan Kesehatan dalam Konsep Negara Kesejahteraan 19
B. Sanksi Terhadap Pihak yang Melanggar Hak atas Pelayanan Kesehatan
Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan 30
BAB III ANALISIS TENTANG JAMINAN HUKUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN TERHADAP HAK PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN (PPK) DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN PESERTA BPJS KESEHATAN 34
A. Memuat Perlindungan Hukum atas Hak Peserta Non Penerima Bantuan
Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dalam Mendapatkan Pelayanan Kesehatan
dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 34
B. Kepastian Hukum Pembayaran bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
Dari Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS Kesehatan 41
BAB IV PENUTUP 49
A. Kesimpulan 49
B. Saran 50
DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kode Etik Kedokteran KODEKI