Tesis Kajian yuridis perlindungan Hak Peserta BPJS

BAB II
PERLINDUNGAN  HUKUM  TERHADAP  HAK  PESERTA  NON        PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI) BADAN PENYELENGGARA
JAMINAN  SOSIAL  (BPJS)  KESEHATAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan atas Pelayanan Kesehatan dalam Konsep Negara Kesejahteraan
Negara Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare state), maka memiliki asas-asas hukum diantaranya asas penyelenggaraan kepentingan umum. Berdasarkan asas ini aparat pemerintah dituntut melakukan kegiatan menuju pada penyelenggaraan kepentingan umum dan memberikan perlindungan hukum.  Konsep negara hukum kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuurfunctie) pada negara-negara modern. Konsep negara kesejahteraan merupakan kebalikan konsep negara hukum formal (klasik), yang didasari pemikiran untuk melakukan pengawasan ketat terhadap penyelenggara kekuasaan negara.
Berdasar penjabaran negara hukum kesejahteraan dan sesuai tujuan negara, pemerintahan Indonesia diarahkan mencapai kesejahteraan masyarakat diantaranya melalui penyelenggaraan kepentingan umum (social service atau public service) untuk mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan sosial. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi pemerintah umumnya mengatur dan mengurus yang bermuara dari upaya mewujudkan kesejahteraan sosial. Apabila ditelaah konsep negara hukum dan negara kesejahteraan tidaklah dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa legitimasi negara hukum menjadi landasan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial (welfare state).
Untuk membahas lebih lanjut perlindungan hukum terhadap hak pelayanan kesehatan masyarakat dalam konsep Negara Kesejahteraan, perlu dipahami dahulu mengenai pelayanan kesehatan masyarakat itu sendiri. Beberpa ahli mengemukakan mengenai definisi pelayanan kesehatan adalah segala upaya dan kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli pelayanan medis dan individu yang membutuhkan. Menurut Wiku Adisasmita bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan prorangan, kelompok atau masyarakat.
Dalam Pasal 1 butir 12 sampai Pasal 16 UU Kesehatan ada dijelaskan bahwa:
1. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
2. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
3. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita bisa terjaga seoptimal mungkin.
4. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
5. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Mengenai pelayanan kesehatan masyarakat dirumuskan dalam Pasal 5 sampai Pasal 8 UU Kesehatan sebagai berikut:
Pasal 5:
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6 bahwa: Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7 bahwa: Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Demikian pemerintah bertanggungjawab memenuhi dan menjamin terwujudnya hak-hak masyarakat terkait pelayanan kesehatan, berupa pemeliharaan dan peningkatan pelayanan kesehatan bermutu, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanggung jawab Pemerintah ini bentuknya menjamin tersedianya sumberdaya kesehatan sesuai kebutuhan dan segala bentuk upaya pelayanan kesehatan yang menjadi hak masyarakat yang diatur undang-undang. Sumberdaya kesehatan yang dimaksudkan meliputi: tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, alat kesehatan dan perbekalan farmasi, serta sumber daya lainnya. Juga dalam Pasal 15 disebutkan ”Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”. Tanggung jawab ini dalam Pasal 16 dijelaskanbahwa, “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”.
Mengingat dalam mewujdukan hidup sehat memerlukan tersedianya anggaran, sementara untuk mewujudkan hak hidup sehat bagi masyarakat dibutuhkan sumber dana kesehatan atau pembiayaan kesehatan yang dalam Pasal 170 UU Kesehatan diatur mengenai pembiayaan kesehatan sebagai berikut :
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
Berdasarkan ketentuan pembiayaan kesehatan, dapat ditafsirkan bahwa tidak mungkin pemerintah menanggung atau melaksanakan sendiri seluruh pembiayaan kesehatan yang merupakan salah satu unsur pokok terwujudnya derajat kesehatan yang optimal. Karena itu perlu diselenggarakan jaminan pembiayaan kesehatan yang sekaligus sebagai pelaksanaan salah satu Jaminan Sosial Nasional (JSN).  Secara khusus tanggung jawab Pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 20 UU Kesehatan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistim jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan, dimana pelaksanaan sistim jaminan sosial berdasarkan peraturan perundangan. Artinya jelas Pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan optimal, yakni terpenuhi hak hidup sehat jasmani dan rohani, dan terpunuhi kebutuhan dasarnya. Seperti dikemukakan Fredi Tangker bahwa hak atas pelayanan kesehatan adalah hak bersumber dari HAM. HAM adalah seperangkat hak yang pada hakikatnya melekat dan karena keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan YME, merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Demikian secara tersurat dan tersirat Pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan optimal dengan menyelenggarakan JKN. Untuk memastikan terlaksananya program JKN dalam Pasal 21 UU Kesehatan bahwa Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Meskipun banyak peraturan perundang-undangan mengatur penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), namun masih diperlukan adanya keseimbangan antara pengaturan pelaksanaan kewajiban Negara terhadap rakyat dan pelaksanaan kewajiban rakyat terhadap Negara. Mengingat Negara tidak akan mampu melaksanakan atau menanggung sendiri pemenuhan hak-hak masyarakat dalam pelayanan kesehatan. Sebaliknya, kewajiban masyarakat adalah berperan serta dalam mewujudkan kesehatan di lingkungan, keluarga dan dirinya merupakan salah satu bentuk keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan, termasuk menanggung pembiayaan kesehatan. Jadi tanggung jawab kebutuhan hidup sehat menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan UU BPJS dijelaskan status BPJS Kesehatan dalam pemerintahan termasuk badan hukum publik seperti dalam Pasal 7 UU BPJS disebutkan BPJS adalah badan hukum publik berdasarkan undang-undang dan bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan prinsipnya, suatu badan hukum publik dimiliki oleh orang atau lembaga yang menempatkan modal/aset pada badan hukum tersebut. Dalam hal ini sumber dana BPJS Kesehatan adalah dari pemerintah dan peserta yang membayar iuran (Peserta PBI dan Non-PBI). Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan dikelola oleh Dewan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS.
Dalam hal melaksanakan tugas-tugas BPJS Kesehatan yang diatur dalam Pasal 11 UU BPJS dengan kewenangan berikut :
a. Menagih pembayaran Iuran;
b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk Investasi Jangka Pendek dan Jangka Panjang;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja;
d. Mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan
f. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan;
g. Melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi berwenang mengenai ketidak-patuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain; dan
h. Melakukan Kerja Sama dengan Pihak Lain.

Demikian dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tersebut di atas, BPJS Kesehatan diberikan hak untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

Adapun kewajiban BPJS sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU BPJS adalah:
a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta;
c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. Memberikan manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;
f. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;
g. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum;
h. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
i. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.

Meskipun program JKN telah dilaksanakan, namun masih ditemukan berbagai kendala, baik yang teknis maupun non teknis. Dari sisi teknis, sosialisasi yang kurang memadai menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, tenaga kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam perspektif yuridis hal yang perlu dikaji terkait UU BPJS adalah ketentuan kewajiban setiap pemberi kerja (korporasi) dan masyarakat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Sebagaimana rumusan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS bahwa, “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”; dalam Pasal 16 ayat (1) bahwa: “Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”. Untuk Jaminan Kesehatan kepesertaan yang sifatnya wajib diatur Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 bahwa kepesertaan Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa setiap orang dan pemberi kerja (korporasi) tanpa kecuali wajib menjadi peserta program JKN, hal ini dituangkan dalam Pasal 1 butir 1 sampai 4 UU BPJS bahwa: BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk melaksanakan program jaminan sosial. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial. Sedangkan dalam Pasal 4 dirumuskan asas atau prinsip penyelenggaraan JKN bahwa: “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: a. kegotong-royongan; b. nirlaba; c. keterbukaan; d. kehati-hatian; e. akuntabilitas; f. portabilitas; g. kepesertaan bersifat wajib; h. dana amanat; dan i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.
Demikiam dapat disimpulkan bahwa setiap orang berhak atas hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya dan Pemerintah bertanggung jawab mewujudkannya hingga tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu instrumen penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah pembiayaan kesehatan, yang melalui program JKN pembiayaan kesehatan ini dilembagakan dalam bentuk BPJS Kesehatan. Oleh karena pemerintah tidak mungkin dapat menanggung sendiri dalam mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, maka ditetapkan secara yuridis kewajiban bagi masyarakat dan pemberi kerja menjadi peserta BPJS Kesehatan. Penetapan secara yuridis mengenai kewajiban setiap masyarakat dan pemberi kerja menjadi peserta BPJS Kesehatan seperti  ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS perlu dikaji karena ada indikasi melanggar Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, dalam hal ini pelayanan kesehatan tidaklah dibatasi dan dibeda-bedakan sesuai prinsip keadilan dalam Negara Hukum Kesejahteraan, atau penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah kewajiban Negara yang semestinya tidak dibebankan kepada rakyat.
B. Sanksi Terhadap Pihak yang Melanggar Hak atas Pelayanan Kesehatan Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan
Secara umum dapat digambarkan manfaat yang dijamin oleh BPJS Kesehatan bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada BPJS Kesehatan terdiri dari:
1. Pelayanan kesehatan di FKTP berupa pelayanan kesehatan non-spesialistik meliputi: a) Administrasi pelayanan; b) Pelayanan promotif dan preventif; c) Pemeriksanaan, pengobatan, dan konsultasi medis; d) Tindakan medis non-spesialistik: e) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; f) Transfusi darah sesuai kebutuhan medis; g) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan h) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis. Untuk pelayanan medis di FKTP meliputi: a) kasus medis yang bisa diselesakan tuntas di FKTP; b) kasus medis membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan rujukan; c) kasus medis rujuk balik; d) pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan pelayanan kesehatan gigi tingkat pertama; e) pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi, dan anak balita; dan f) Rehabilitasi medik dasar.
2. Pelayanan Kesehatan di FKRTL/Rujukan Tingkat Lanjutan meliputi: a) Administrasi pelayanan; b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialis oleh dokter spesialis dan subspesialis; c) Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai indikasi medis; d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; e) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai indikasi medis; f) Rehabilitasi medis;               g) Pelayanan darah; h) Pelayanan kedokteran forensik klinik; i) Pelayanan jenazah pada pasien meninggal di fasilitas kesehatan; j) Perawatan inap non-intensif; k) Perawatan inap di ruang intensif; dan  k) Akupunktur medis.
3. Manfaat pelayanan promotif dan preventif mencakup: a) Penyuluhan kesehatan perorangan; b) Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B, Polio, dan Campak; c) Keluarga Berencana;     d) Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah; e) Pelayanan skrining kesehatan tertentu diberikan secara selektif untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan; f) Pelayanan skrining kesehatan tertentu dalam poin 5); g) Khusus untuk kasus dengan pemeriksaan IVA positif dapat dilakukan pelayanan Terapi Krio.
4. Manfaat Pelayanan Kebidanan dan Neonatal dalam JKN meliputi: a) Pemeriksaan ANC berupa pemeriksaan fisik, pengukuran tinggi badan/berat badan, tekanan darah, lingkar lengan atas, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan denyut jantung janin, pemeriksaan posisi janin, pemeriksaan Hb, pemeriksaan golongan darah, tes celup glukoprotein urin, imunisasi, pemberian suplemen besi dan asam folat, dan konseling, serta mengonsultasikan ke dokter pada trimester pertama atau sedini mungkin; b) Pemeriksaan ANC sesuai standar diberikan dalam bentuk paket minimal 4 kali pemeriksaan; c) Pemeriksaan PNC/neonatus sesuai standar diberikan dalam bentuk paket minimal 3 kali kunjungan ibu dan 3 kali kunjungan bayi; dan d) elayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya.
5. Pelayanan alat kesehatan, yang jenis dan plafon harga ditetapkan oleh Menteri.  Pelayanan alat bantu kesehatan yang dijamin meliputi: a) Kacamata, b) Alat bantu dengar; c) Protesa alat gerak; d) Protesa gigi; e) Karset tulang belakang, f) Collar neck; dan g) Kruk, masing-masing dengan indikasi medis yang ditetapkan.
6. Pelayanan Obat, Penyediaan Obat dan Penggunaan obat
Pelayanan obat untuk Peserta JKN di FKTP dilakukan oleh apoteker di instalasi farmasi klinik pratama/ruang farmasi di Puskesmas/apotek sesuai peraturan. Dalam hal di Puskesmas belum memiliki apoteker, pelayanan obat dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian dengan pembinaan apoteker dari Dinas Kesehatan. Pelayanan obat Peserta JKN di FKRTL dilakukan apoteker di instalasi farmasi rumah sakit/ klinik utama/apotek sesuai undang-undang. Pelayanan obat peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu daftar obat dalam Fornas dan harga obat dalam ekatalog obat. Pengadaan obat memakai mekanisme epurchasing menurut e-katalog atau bila ada kendala operasional dapat dilakukan manual. Dalam hal jenis obat tidak ada di Formularium Nasional dan harga tidak ada di e-katalog, pengadaannya menggunakan mekanisme pengadaan yang lain sesuai peraturan.
Penyediaan obat di fasilitas kesehatan dilaksanakan mengacu Fornas dan harga obat dalam e-katalog obat. Pengadaan obat dalam e-katalog memakai mekanisme e-purchasing, atau bila ada kendala dapat dilakukan manual. Penggunaan obat disesuaikan standar pengobatan. Apabila dalam pemberian pelayanan kesehatan, pasien membutuhkan obat yang belum ada di Formularium Nasional, maka dapat diberikan dengan ketentuan: 1) Penggunaan obat di luar Formularium Nasional di FKTP dapat digunakan apabila sesuai indikasi medis dan standar pelayanan kedokteran yang biaya sudah termasuk dalam kapitasi dan tidak boleh dibebankan kepada peserta; dan penggunaan obat diluar Formularium Nasional di FKRTL dimungkinkan setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi dan Terapi  dengan persetujuan Komite Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang biaya sudah termasuk dalam tarif INA CBGs.
Terkait permohonan peningkatan kelas perawatan pada rawat inap di Fasilitas Kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan diatur Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, antara lain:
1. Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3 (tiga) hari. Selanjutnya dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan.
2. Apabila kelas sesuai hak peserta penuh dan kelas satu tingkat diatasnya penuh, peserta dapat dirawat di kelas satu tingkat lebih rendah paling lama 3 (tiga) hari dan kemudian dikembalikan ke kelas perawatan sesuai dengan haknya.
3. Apabila perawatan di kelas yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3 (tiga) hari, maka BPJS Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai kelas dimana pasien dirawat.
4. Bila semua kelas perawatan di rumah sakit penuh maka rumah sakit dapat menawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang setara dengan difasilitasi oleh FKRTL yang merujuk dan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan.
5. Rumah sakit harus memberikan informasi mengenai biaya yang harus dibayarkan akibat dengan peningkatan kelas perawatan.
6. Dalam hal peserta JKN (kecuali peserta PBI) menginginkan kenaikan kelas perawatan atas permintaan sendiri, peserta harus menandatangani surat pernyataan tertulis dan selisih biaya menjadi tanggung jawab peserta.
Ditegaskan dalam pemberian hak rawat inap pasien sesuai kelasnya dalam Pasal 22 A Permenkes Nomor 99 tahun 2015 bahwa Rumah Sakit wajib menginformasikan ketersediaan ruang rawat inap untuk pelayanan JKN. Informasi diberikan secara langsung atau tidak langsung. Pemberian informasi secara langsung dilakukan dengan menyediakan fasilitas pelayanan informasi atau dilakukan petugas Rumah Sakit dan secara tidak langsung dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website.
Terkait penyediaan obat di fasilitas kesehatan mengacu Pasal 20 Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan antara lain :
1. Obat penyakit kronis di FKRTL diberikan maksimum untuk 30 (tiga puluh) hari sesuai indikasi medis.
2. Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk:
a. penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang belum dirujuk balik ke FKTP; dan
b. penyakit kronis lain yang menjadi kewenangan FKRTL.
3. Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dengan cara :
a. Sebagai bagian dari paket INA-CBG, di berikan minimal 7 (tujuh) hari; dan
b. Bila diperlukan tambahan hari pengobatan, obat diberikan terpisah di luar paket INA-CBG serta diklaimkan sebagai tarif Non INA-CBG, dan harus tercantum pada Formularium Nasional.
4. Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan melalui instalasi farmasi di FKRTL atau apotek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
5. Harga obat yang ditagihkan oleh instalasi farmasi di FKRTL atau apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada harga dasar obat sesuai e-Catalogue ditambah biaya pelayanan kefarmasian.
6. Besarnya biaya pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah faktor pelayanan kefarmasian dikali harga dasar obat sesuai e-Catalogue atau harga yang ditetapkan oleh Menteri.
7. Faktor pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dengan ketentuan peraturan berlaku.
Demikian dapat dikatakan bahwa peserta BPJS Kesehatan memiliki hak mendapat pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan sesuai indikasi medis. Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tersebut dapat diberikan pada pelayanan kesehatan rawat jalan dan/atau rawat inap di FKTP ataupun FKRTL. Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang diberikan kepada Peserta berpedoman pada daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang ditetapkan oleh Menteri. Daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dituangkan pada Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan. Penambahan atau pengurangan daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan ditetapkan oleh Menteri. Pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai pada FKRTL merupakan komponen yang dibayarkan dalam paket Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s). Dalam hal obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada FKRTL tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan kepala/direktur rumah sakit. Dalam hal jenis obat ada tercantum dalam Kepmenkes Nomor hk.01.07/menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional. Formularium Nasional merupakan daftar  obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan guna pelaksanaan JKN.
  Demikian dalam pemberian penjaminan bagi peserta, pihak BPJS Kesehatan bekerjasama dengan faslitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) yang bentuknya penting diketahui agar tidak melakukan melawan hukum dari segala tindakan, yakni pelanggaran hak peserta BPJS Kesehatan dalam pemberian pelayanan medis seperti tercantum dalam klausula perjanjian penjaminan. Beberapa hal ini tidak lepas zerbagai pandangan teori, khususnya teori keadilan. Keadilan merupakan semua hal berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai hak dan kewajiban, perlakukan ini tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan semua orang diperlakukan sama sesuai hak dan kewajibannya. Menurut John Rawls program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan harus memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Berdasarkan deskripsi penyelenggaran pelayanan kesehatan atas peserta non PBI pada BPJS Kesehatan,  dapat dikemukakan adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan Pemerintah selaku pembuat kebijakan, BPJS Kesehatan selaku operator program JKN, dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (seperti Rumah Sakit) selaku pelaksana pelayanan kesehatan. Apabila dikaitkan hak peserta BPJS Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan dengan tugas dan fungsi lembaga, dapat dikatakan pemenuhan hak peserta BPJS harus dengan pemenuhan keadilan berdimensi kerakyatan seperti konsep keadilan John Rawl. John Rawls menitik beratkan kepada pemberian hak dan pengaturan kesenjangan ekonomi yang bisa memberi keuntungan timbal balik. Dalam hal ini penekanan pemberian pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan seperti rumusan Pasal 2 UU Kesehatan bahwa asas keadilan berarti penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan terjangkau; atau dalam Pasal 2 UU Rumah Sakit yang menjelaskan bahwa penyelanggaraan Rumah Sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan bermutu. Berdasarkan rumusan pasal-pasal ini yang dikaitkan dengan Pasal 4 UU Rumah Sakit yang menetapkan tugas RS adalah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, atau dalam Pasal 5 menjelaskan untuk menjalankan tugas dan fungsi Rumah Sakit sebagai diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Demikian pelaksanaan kerjasama BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan berpedoman pada kontrak kerjasama yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak serta peraturan yang terkait sehingga dalam pelaksanaannya tidak boleh melanggar kesepakatan. Praktik pelaksanaan sering terjadi adanya penyelewengan dan kecurangan yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan sehingga diperlukan adanya penerapan sanksi yang tegas sesuai dengan rambu-rambu hukum yang ada. Begitu juga perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan kontrak berfungsi untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, sebagai alat bukti dan menjamin kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban para pihak karena itu kontrak yang memenuhi syarat sahnya kontrak sangat penting peranannya dalam mengatur hubungan hukum antara BPJS dengan fasilitas kesehatan dan dengan peserta yang menjadi tanggungjawab BPJS Kesehatan.
Sementara perjanjian yang dilakukan antara para pihak cenderung bersifat baku yang dibuat oleh BPJS Kesehatan karena isi perjanjian yang tidak dapat diubah, tetapi masih dimungkinkan pihak Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama untuk memperbaiki dan menambahkan beberapa poin selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan pada akhirnya BPJS Kesehatan yang berwenang untuk menerima ataupun menolak perbaikan atau penambahan yang diajukan oleh Fasilitas Kesehatan tersebut.
Mencermati klausula perjanjian di atas, terlihat Pemerintah (melalui BPJS Kesehatan) seakan-akan tidak bertanggung jawab terhadap tindakan dan pelayanan kesehatan diberikan Fasilitas Kesehatan atas pasien peserta BPJS Kesehatan. Atau tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang penguasa (Pemerintah, BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan) yang tidak sesuai aturan, yaitu mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. Perlakuan yang tidak adil ini dapat diidentifikasi, sebut saja BPJS dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewajibannya memiliki kewenangan atribusi (kewenangan dari undang-undang) seperti diatur Pasal 11 UU BPJS dapat membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan serta membuat kesepakatan kerjasama dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan. Kesepakatan yang terjalin kemudian dituangkan dalam kontrak atau perjanjian tertulis antara BPJS Kesehatan dengan fasilitas kesehatan. Namun, di sisi lain peserta BPJS Kesehatan tidak diberi hak atau menentukan secara bebas kehendaknya dalam perjanjian penjaminan. Di samping itu Pemerintah melalui BPJS Kesehatan dapat merubah kebijakan atau ketetapan terkait program JKN dengan alasan tertentu, atau Fasilitas Kesehatan dapat membuat kebijakan dan pengaturan bersifat internal terkait pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan.
Menurut peneliti terjadinya pelanggaran hak peserta BPJS Kesehatan, terutama Fasilitas Kesehatan dipengaruhi oleh faktor penghambat, diantaranya:
1. Kurangnya pengetahuan peserta BPJS terhadap prosedur dan mekanisme pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan menjadi pengambat pemenuhan hak pelayanan peserta BPJS Kesehatan diantaranya adalah peserta BPJS Kesehatan yang tidak melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan dalam memperoleh pelayanan di rumah sakit ataupun dokter keluarga, sehingga proses untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai juga ikut terhambat.
2. Sarana dan prasarana dalam pemberian layanan kesehatan dibutuhkan untuk menunjang pemenuhan hak pelayanan kesehatan pasien. Keadaan di lapangan memperlihatkan sarana prasarana Fasilitas Kesehatan terkadang tidak memadai. Seperti jumlah ruangan rawat inap yang tidak memadai sehingga ada pasien yang mengeluhkan ruangan rawat inap yang penuh, adanya keluhan terkait pelayanan obat di loket pengambilan obat yang membuat terjadi penumpukan di loket, atau terjadi kekosongan persediaan obat yang dibutuhkan pasien, adanya dugaan permainan bisnis yang diatur sedemikian rupa sehingga sulit intuk dibuktikan yang berdampak merugikan pasien peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan.
3. Indikator untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan, salah satunya tenaga kesehatan. Misalnya, fasilitas tenaga kesehatan terutama dokter spesialis masih kurang sehingga pasien tidak dapat memilih yang diinginkannya sebagai haknya, hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum pasien dalam pelayanan kesehatan karena hak pasien untuk dapat memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya menjadi tidak terpenuhi, seperti minimnya tenaga kesehatan profesional melakukan tingkat pelayanan kesehatan seperti dokter bedah. Biasanya kalau pagi, pasien di Fasilitas Kesehatan yang akan mendapatkan rawat jalan penumpuk, karena bertepatan waktu dokter melakukan operasi. Hal ini menjadi indikator pasien menumpuk di rumah sakit yang mendapatkan rawat jalan.
4. Faktor alokasi dana bagi pengadaan fasilitas kesehatan di Fasilitas Kesehatan, hal ini disebabkan adanya pengalokasian dana yang bersumber dari APBN/APBD dinilai masih jauh dari cukup untuk memperbaiki seluruh sarana dan prasaranan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan.
5. Adanya kesengajaan memanipulasi data oleh pemberi kerja (korporasi) dalam mendaftarkan kepesertaan karyawannya dan pelanggaran terhadap pemberian data perusahaan atau data diri peserta.
Terkait adanya pelanggaran terhadap hak peserta dalam pelayanan kesehatan semestinya ada upaya penegakan hukum yang signifikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Sanksi disini adalah tanggungan (tindakan dan hukuman) untuk memaksa orang atau badan hukum untuk menepati perjanjian atau menaati ketentuan perundang-undangan. Demikian penyebab pemberian sanksi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam konteks ini diantaranya:
1. Bagi Fasilitas Kesehatan yang dapat dibuktikan telah melanggar isi klausula perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka pihak BPJS Kesehatan dapat memberikan teguran dan peringatan, atau menerapkan sanksi administrasi berupa teguran tertulis, denda, atau memutus kontrak kerjasama.
2. Bagi perusahaan (pemberi kerja) yang melanggar hak-hak karyawan untuk didaftarkan sebagai peserta non PBI pada BPJS Kesehatan diantaranya:
a. Pihak BPJS Kesehatan dapat melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya membayar iuran atau memenuhi kewajiban lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pihak BPJS Kesehatan dapat mengenakan sanksi administratif kepada pemberi kerja yang terbukti melakukan pelanggaran memanipulasi data pemberian data perusahaan atau data diri peserta, berupa teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
c. Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) maka dapat dipidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
3. Bagi peserta BPJS Kesehatan yang terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, misalnya tidak membayar iuran dan kewajiban lainnya, maka BPJS Kesehatan dapat memberikan sanksi berupa teguran tertulis, denda dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
4. Bagi Depan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan yang terbukti melanggar ketentuan larangan dalam Pasal 52 huruf a, b, c, d, e, atau f dikenai sanksi administratif berupa:  peringatan tertulis; pemberhentian sementara; dan/atau pemberhentian tetap; atau bahkan dapat dikenakan sanksi pidana apabila melanggar larangan ketentuan Pasal 52 huruf g, h, i, j, k, l, atau m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Demikian dapat disimpulkan bahwa terkait adanya pelanggaran atas hak peserta non PBI BPJS Kesehatan dalam pelayanan kesehatan, semestinya ada upaya penegakan hukum yang signifikan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, mialnya dengan pemberian sanksi tertentu. Sanksi merupakan tanggungan (tindakan dan hukuman) untuk memaksa orang atau badan hukum menepati perjanjian atau ketentuan perundang-undangan. Demikian penyebab sanksi dalam konteks ini yaitu: bagi Fasilitas Kesehatan yang dapat dibuktikan telah melanggar isi klausula perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan, dapat diberikan teguran dan peringatan, atau sanksi administrasi, atau putusnya kontrak kerjasama; bagi pemberi kerja yang melanggar hak-hak karyawan untuk didaftarkan sebagai peserta non PBI pada BPJS Kesehatan dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya tersebut, diberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu, atau bahkan yang melanggar Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah);  bagi Depan Pengawas dan Dewan Direksi BPJS Kesehatan yang terbukti melanggar larangan dalam Pasal 52 dapat dikenai sanksi administratif berupa: peringatan tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap, atau bahkan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
BAB III

JAMINAN HUKUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN TERHADAP HAK PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN (PPK) DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN PESERTA
BPJS KESEHATAN

A. Perlindungan Hukum Atas Hak Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dalam Mendapatkan Pelayanan Kesehatan dari Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)

Pemerintah mengatur BPJS Kesehatan berprinsip kegotong-royongan yakni setiap peserta yang sehat diatur sedemikian hingga oleh BPJS Kesehatan untuk membantu peserta yang sakit. Karena itu rakyat miskinpun berhak menerima pelayanan yang baik dengan menyertakan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), atau melalui jaminan kesehatan masyarakat dari ABPD. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan adanya permainan di kalangan masyarakat untuk memanipulasi data ‘kemiskinan’. Rumah sakit yang menerima pasien BPJS Kesehatan ini adalah rumah sakit milik pemerintah (beberapa rumah sakit swasta) yang dalam faktanya didominasi rumah sakit swasta yang mungkin belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, sehingga bisa diakses fasilitas yang dapat dinikmati peserta. Misalnya, pada kasus emergency seperti kecelakaan yang terjadi di rumah sakit yang tidak sesuai tingkatannya (seharusnya rumah sakit tipe B tetapi terjadi di depan rumah sakit tipe A) tetap harus ditangani, padahal belum diatur dengan jelas dalam klausal asuransi, sehingga memungkinkan terjadi kasus ‘pembiaran pasien’. Apabila peserta PBI menderita sakit parah dan memakan biaya sangat besar, pertanyaannya apakah semua biaya ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Dalam hal pemberian pelayanan, dapat bersandar pada salah satu pengaturan dan penjelasan mengenai pembiayaan jaminan kesehatan atau klaim-klaim yang ada diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dalam Pasal 39 berikut :
(1) BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan secara praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah peserta yang terdaftar di Fasilitas Kesehatan  tingkat pertama.
(2) Dalam hal Fasilitas Kesehatan tingkat pertama di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan diberikan kewenangan untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna.
(3) BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan berdasarkan cara Indonesia Case Based Group (INA CBG’s).

Terkait pola pembiayaan BPJS Kesehatan adalah adanya penyebaran yang tidak merata dalam hal jumlah fasilitas kesehatan dalam daerah/kabupaten/kota [ayat (1)], apabila dalam suatu area ada terlalu banyak fasilitas kesehatan, ada dua kemungkinan yang  terjadi, yaitu jumlah kapitasi yang didapat setiap fasilitas kesehatan akan sedikit atau ada fasilitas kesehatan yang tidak mendapatkan kapitasi. Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa terdapat mekanisme lain pembayaran bagi fasilitas kesehatan yang tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi (walaupun belum diatur secara jelas). Untuk pembiayaan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan maka berdasarkan tarif Ina CBG’s [ayat (3)]. Sedangkan alur pembiayaan diatur dalam Pasal 29 PP  Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehata mengenai prosedur pelayanan sebagai berikut:
(1) Untuk pertama kali setiap Peserta didaftarkan olehBPJS Kesehatan pada satu Fasilitas Kesehatan tingkatpertama yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan kabupaten/ kota setempat.
(2) Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulanselanjutnya Peserta berhak memilih Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang diinginkan.
(3) Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar.
(4) Dalam keadaan tertentu, ketentuan yang dimaksud ayat (3) tidak berlaku bagi Peserta yang:  ada di luar wilayah Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar; atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
(5) Dalam hal Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, Fasilitas Kesehatan tingkat pertamaharus merujuk ke Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan sistem rujukan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan tingkat pertama dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan diatur Peraturan Menteri.

Menurut prosedur yang berlaku bahwa untuk peserta BPJS Kesehatan, apabila peserta BPJS Kesehatan akan berobat, maka peserta harus membawa Kartu BPJS Kesehatan (jika di tingkat rujukan lanjutan peserta harus membawa surat rujukan). Peserta mendaftarkan diri di loket BPJS Kesehatan, selanjutnya petugas akan memberikan Surat Jaminan Pelayanan (SJP). Setelah mendapatkan surat tersebut, baru peserta BPJS Kesehatan boleh mendapatkan pelayanan kesehatan.
Hak peserta BPJS Kesehatan yang harus dipenuhi BPJS Kesehatan yaitu :
1. Memiliki Kartu BPJS Kesehatan, untuk dapat dilayani pada fasilitas kesehatan yang ditunjuk sesuai ketentuan berlaku
2. Memperoleh penjelasan tentang hak, kewajiban serta tata cara pelayanan kesehatan
3. Menyampaikan keluhan secara lisan (telepon atau datang langsung) atau tertulis, ke Kantor BPJS setempat.
Kewajiban yang harus dipenuhi peserta BPJS Kesehatan sebagai berikut : 1) Membayar iuran; 2) Memberikan data identitas diri untuk penerbitan Kartu BPJS Kesehatan; 3) Mentaati semua ketentuan dan prosedur pelayanan kesehatan yang berlaku; dan 4) enjaga Kartu BPJS Kesehatan agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Peserta BPJS Kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, terdiri dari :
1. Puskesmas, Dokter Keluarga, Klinik dan Balai Pengobatan Umum
2. Rumah Sakit Pemerintah
3. Rumah Sakit TNI/POLRI/Swasta
4. Rumah Sakit Swasta tertentu
5. Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD)/PMI
6. Apotik
7. Optikal
8. Balai Pengobatan Khusus (BP Paru, BP Mata dan sebagainya)
9. Laboratorium Kesehatan Daerah di seluruh Indonesia.
Jenis pelayanan kesehatan yang dijamin BPJS Kesehatan kepada peserta BPJS Kesehatan yaitu: 1) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Puskesmas atau Dokter Keluarga, meliputi layanan Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Rawat Inap Tingkat Pertama; 2) Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan di Rumah Sakit; Alat Kesehatan.
Pelayanan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan kepada peserta diantaranya:
1. Pelayanan yang tidak mengikuti prosedur atau ketentuan yang berlaku
2. Penyakit akibat upaya bunuh diri atau dengan sengaja menyakiti diri
3. Operasi plastik kosmetik, termasuk obat-obatan
4. Check Up atau General Check-Up
5. Imunisasi diluar imunisasi dasar Seluruh rangkaian usaha ingin punya anak (infertilitas) Penyakit akibat ketergantungan obat atau alkohol
6. Sirkumsisi tanpa indikasi medis
7. Obat-obatan diluar DPHO termasuk Obat gosok, vitamin, kosmetik, makanan bayi
8. Pelayanan kursi roda, tongkat penyangga, korset dan lain-lain
9. Pengobatan di luar negeri
10. Pelayanan ambulance, pengurusan jenazah dan pembuatan visum et repertum termasuk biaya foto copy, administrasi, telepon, dan transportasi
11. Pemeriksaan kehamilan, gangguan kehamilan, tindakan persalinan, masa nifas anak ketiga dan seterusnya
12. Usaha meratakan gigi, dan membersihkan karang gigi.

Prosedur Pelayanan klaim BPJS Kesehatan ditentukan sebagai berikut:
1. Peserta dapat mengajukan klaim perorangan hanya pada kasus berikut:
a. Kasus Emergensi (Kegawatdaruratan atas indikasi medis) sesuai kriteria emergensi.
b. Persalinan Normal di luar jaringan PPK.
c. Persalinan penyulit dengan tindakan elektif terencana (tindakan sudah diketahui sebelumnya),  antenatal care (Pemeriksaan masa hamil) dan atau persalinan dilakukan di luar jaringan PPK diberi bantuan sebesar maksimal  sesuai persalinan normal Rp. 500.000,- (Permenakertrans Nomor PER-12/VI/2007).
d. Pelayanan Khusus; gigi palsu, mata palsu, alat bantu dengar, prothesa, anggota gerak tangan dan kaki.
2. Peserta mengajukan klaim disertai dokumen pendukung sebagai syarat klaim yang telah ditetapkan oleh BPJS Kesehata.
3. BPJS Kesehatan melakukan pemeriksaan terhadap berkas yang diterima, berkas klaim yang belum lengkap akan dikembalikan berikut catatan kekurangan berkas.
4. Apabila dianggap sudah memenuhi syarat maka klaim dapat diproses.
5. Apabila setelah dilakukan verifikasi ternyata ada hal tertentu yang tidak dapat diproses (kurangnya informasi berkas klaim), bidang Jaminan/ Bidang JPK BPJS Kesehatan akan menginformasikan melalui surat pemberitahuan atau telepon kepada peserta melalui perusahaan.
6. PBJS Kesehatan melaksanakan pembayaran disertai dengan rincian pembayaran sesuai ketentuan setelah proses verifikasi klaim selesai.

BPJS kesehatan dapat menjadi solusi tepat, karena peserta BPJS Kesehatan berarti menabung untuk memenuhi biaya kesehatan yang diperlukan melalui pembayaran premi rutin, karena biaya kesehatan dari tahun ke tahun meningkat, sehingga jika dibutuhkan sumber dana dalam jumlah besar untuk biaya kesehatan ditanggulangi BPJS Kesehatan sesuai tingkat pelayanan kesehatan dipilih nasabah. Demikian BPJS Kesehatan merupakan asuransi sosial dalam pertanggungan wajib. Dikatakan wajib karena salah satu pihak mewajibkan pihak lain dalam mengadakan pertanggungan. Pihak yang mewajibkan adalah pihak pemerintah, dan pihak yang diwajibkan adalah pihak tertanggung yang wajib membayar premi sebagai imbalan dialihkan risiko kepada pihak penanggung (BPJS Kesehatan). Dikemukakan R. Ali Ridho bahwa unsur-unsurnya yaitu: bersifat wajib, ditetapkan berdasarkan Undang-Undang untuk memberikan jaminan sosial. Ciri asuransi sosial yaitu melaksanakan pertanggungan (pemerintah) melalui BPJS Kesehatan.  Sifat hubungan hukumnya wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagian anggota tertentu masyarakat. Penentuan penggantian kerugian diatur Pemerintah dengan peraturan perundangan yang tujuannya memberikan jaminan sosial, bukan untuk mencari untung semata.
Hal dasar dari perusahaan asuransi adalah memberikan penggantian biaya pemeliharaan kesehatan kepada peserta ketika yang bersangkutan dalam keadaan sakit. Apabila terjadi peristiwa yang dimaksud pada peserta, maka peserta BPJS Kesehatan dapat mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan. Namun, dalam praktiknya terkadang untuk menentukan jumlah kerugian (klaim tagiham) ternyata lebih rumit dari yang diatur dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Pembayaran kerugian yang telah terjadi merupakan tugas dari bagian klaim. Pentingnya penilaian ini agar BPJS Kesehatan membayar klaimnya secara wajar dan cepat. Sama pentingnya, BPJS Kesehatan harus menghindari pembayaran melebihi yang dipertanggungkan. Perbedaan klaim penanganan pasien antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan dapat terjadi. Terlebih dengan adanya perkembangan teknologi kesehatan saat ini berdampak pada pembiayaan kesehatan. Pembayaran klaim yang cepat, wajar dan memuaskan merupakan alat promosi efektif yang perlu dimanfaatkan BPJS Kesehatan. Misalnya, peserta BPJS Kesehatan yang menjalani perawatan oleh pihak rumah sakit dimasukkan di ruangan kelas II karena pasien adalah PNS golongan II, tetapi ia menginginkan perawatan kelas I. Hal ini tentunya dapat menimbulkan meningkatnya klaim oleh PPK atas BPJS Kesehatan. Sebaliknya, peserta BPJS Kesehatan yang menjalani perawatan di rumah sakit oleh pihak rumah sakit dimasukkan di ruangan kelas III  karena ruangan penuh, sementara pasien adalah pegawai negeri golongan II. Atau dalam hal adanya pembatasan pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sehingga pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung menjadi tanggung jawab pasien.
Dalam pelayanan kesehatan, masalah menjadi lebih pelik, karena manajemen pelayanan kesehatan terkait beberapa kelompok manusia. Dalam manajemen pelayanan kesehatan tersangkut tiga kelompok, yaitu kelompok penyelenggara pelayanan kesehatan (Health provider, misalnya dokter/perawat), kelompok penerima jasa pelayanan kesehatan (para konsumen), serta kelompok yang secara tidak langsung terlibat, misalnya para administrator (BPJS Kesehatan). Sedangkan sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan adalah baik health provider maupun konsumen jarang mempertimbangkan aspek-aspek biaya, sepanjang menyangkut masalah penyembuhan suatu penyakit. Kenyataannya didukung oleh kebutuhan konsumen yang menghendaki pelayanan optimal guna memperoleh rasa nyaman dan aman, sebab pertaruhan yang diletakkan adalah nyawa si pasien. Keadaan ini membawa kecenderungan diabaikan perhitungan-perhitungan ekonomi, efisiensi biaya dan lain-lain (cost efficiency).
Pada umumnya ada dua hal yang mendorong meningkatnya biaya pelayanan kesehatan menurut teori managed care. Pertama, sifat pelayanan kesehatan yang dapat digambarkan sebagai bersifat padat modal, padat teknologi dan padat karya. Kedua, pembiayaan oleh BPJS Kesehatan. Kaitan dari keduanya bahwa Pemerintah melalui BPJS Kesehatan terkadang kesulitan memenuhi klaim dari PPK dimana klaim PPK jauh lebih besar dari premi yang dapat ditagih BPJS Kesehatan. Dalam kondisi semacam ini ada kecenderungan BPJS Kesehatan melakukan rasionalisasi dengan pembatasan pertanggungan pada penyakit atau pelayanan kesehatan tertentu. Dalam menentukan klaim tersebut merupakan klaim yang lebih besar dari yang dipertanggungkan, petugas verifikator mengikuti prosedur penyelesaian berikut :
1. Pemberitahuan, langkah pertama dalam proses klaim yaitu  pemberitahuan kepada BPJS Kesehatan yang dilakukan secepat mungkin dengan pemberitahuan tertulis.
2. Verifikasi, petugas mendatangi health provider untuk memverifikasikan biaya pengobatan dan biaya-biaya perawatan peserta, agar dapat ditentukan berapa besar klaim yang harus dibayar, sehingga dapat diketahui apakah klaim yang diajukan sesuai atau melebihi jumlah yang ditanggung.
3. Bukti, dalam jangka waktu tertentu setelah pemberitahuan, diharapkan dapat menyerahkan bukti-bukti pendukung klaim asuransi kesehatan yang diajukan.
4. Pembayaran Klaim, apabila semua bukti endukung klaim terkumpul, perusahaan asuransi dapat menentukan apakah klaim dibayar seluruhnya atau hanya dibayar sesuai dengan verifikasi BPJS Kesehatan. Tuntutan klaim dapat pudar karena adanya faktor yang menunjukkan jumlah tuntutan seperti dicontohkan dalam kasus diatas.
BPJS Kesehatan menerapkan suatu batas tertentu pembiayaan menjadi beban peserta program BPJS kesehatan dan pembatasan pertanggungan. Hal ini untuk pengendalian biaya pelayanan kesehatan dan pengendalian mutu pelayanan kesehatan. Disamping itu betapapun peserta akan memperoleh jasa asuransi, tetapi tidak seluruh biaya pengobatan dan perawatan dapat ditanggung BPJS Kesehatan. Sehingga apabila ada pembayaran klaim lebih besar dari jumlah atau diluar yang dipertanggungkan, BPJS Kesehatan tidak bertanggungjawab atas kelebihan klaim atau diluar tanggungan ataupun tata cara peraturan pelaksanaan klaim dari PPK kepada PBJS Kesehatan.
Pelaksanaan pembayaran klaim yang sepenuhnya tidak bisa dipenuhi, misalnya seorang pasien peserta BPJS Kesehatan berusia 54 tahun yang didiagnosis mengidap Tumor Chardoma Sacrum. Berdasarkan laporan operasi dilakukan tindakan angkat tumor dengan lama pembedahan 8 jam 45 menit. Pihak rumah sakit menagih biaya lima kali operasi pasien peserta BPJS Kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Setelah ditanyakan kepada dokter ahli, didapat data operasi dilakukan hanya empat kali oleh empat tim dengan disiplin ilmu berbeda. Dalam hal ini diakui kadang dokter salah melakukan diagnosis sehingga pasien menjadi korban. Sudah tentu tidak ada peserta yang mau menjadi korban dari kesalahan diagnosis. Juga peserta belum mengerti betul untuk apa membayar hororarium dokter, apakah untuk pemeriksaan, penulisan resep atau jasa penyembuhan. Dampak kasus ini terjadi pada sistem pembayaran yang mendorong pelayanan kesehatan yang tidak efisien, berlebihan dan menjadi penyebab naiknya biaya pelayanan kesehatan, atau adanya rasionalisasi BPJS Kesehatan melakukan pembatasan.
Tingginya alokasi biaya kesehatan ternyata belum tentu menghasilkan status kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi status kesehatan, misalnya faktor gaya hidup, adat istiadat, bahkan keturunan dan faktor sosial (tingkah laku) disamping pelayanan kesehatan. Sistem pembayaran seperti ini sesungguhnya manifestasi hubungan pasien-dokter yang tradisional selama ini. Dalam hubungan pasien-dokter ini, kedua pihak selalu meminta pelayanan sebaik-baiknya dengan teknologi dan obat-obatan mutakhir. Secara alami, hubungan pasien-dokter cenderung mendorong penggunaan pelayanan kesehatan berlebihan yang tidak sesuai pembiayaan kesehatan. Para health provider selalu didesak menggunakan kemampuan teknologi dan obat-obatan mutakhir. Hal ini untuk memberikan rasa aman atas tanggung jawab moral yang dibebankan kepadanya dalam menyembuhkan pasien. Kepentingan semacam ini akan berlawanan dengan kepentingan administrator (Pemerintah/BPJS) yang akan memperhatikan aspek biaya pelayanan kesehatan, dan tidak jarang administrator mengeluh sikap para konsumen dan health provider yang membuat pembayaran klaim asuransi kesehatan tidak dapat dipenuhi. Dalam hal ini administrator sudah selayaknya tidak bisa membiarkan hal ini terjadi dan mesti bertindak mengurangi adanya inefisiensi perawatan peserta asuransi, agar dapat ditentukan berapa besar klaim yang harus dibayar, sehingga diketahui apakah klaim yang diajukan dapat dipenuhi atau tidak. Dengan cara memverifikasi beberapa faktor yang meningkatkan harga pelayanan kesehatan misalnya perawatan rumah sakit yang terlalu lama, pemberian obat berlebihan, tindakan operasi yang tidak perlu, hal ini disebabkan karena badan-badan asuransi kesehatan sudah tidak mau dipermainkan oleh health provider untuk membayar biaya pelayanan kesehatan yang tidak perlu.
Demikian dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak peserta Non Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan berpedoman kepada jenis pelayanan kesehatan yang dijamin termuat dalam isi klausal perjanjian yang mengacu pada KUHPerdata dan UU BPJS; selanjutnya dirumuskan dalam petunjuk pelaksanaan seperti: Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 bahwa kepesertaan BPJS Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia; atau lebih teknis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam hal ini dikatakan untuk menentukan klaim lebih besar dari pertanggungan dan/atau pelayanan yang tidak tertanggung BPJS Kesehatan, petugas verifikator mengikuti prosedur penyelesaian seperti adanya pemberitahuan kepada BPJS Kesehatan yang dilakukan secepat mungkin dengan pemberitahuan tertulis; petugas BPJS Kesehatan mendatangi health provider untuk memverifikasi biaya pengobatan dan perawatan peserta agar dapat ditentukan berapa besar klaim yang harus dibayar sehingga dapat diketahui klaim yang diajukan sesuai jumlah yang ditanggung atau yang tidak termasuk tanggungan BPJS Kesehatan.
B. Kepastian Hukum Pembayaran Bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS Kesehatan
Dalam kaitan dengan kepastian hukum pembayaran bagi hak Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) atas pasien peserta BPJS, berdasarkan Pasal 11 huruf d UU BPJS secara jelas dinyatakan dalam melaksanakan tugas BPJS membuat kesepakatan dengan PPK mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu standar tarif yang ditetapkan Pemerintah. Jadi secara normatif apabila mengacu pasal ini, dengan adanya pengaturan mengenai kesepakatan dengan PPK mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan. Kepastian hukum pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi PPK dari BPJS Kesehatan sudah dijamin lewat UU BPJS. Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 memuat ketentuan bahwa Penyedia Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan dibayarkan melalui tarif  INA CBG’s oleh BPJS Kesehatan. Sistem INA CBG’s ini menganut sistem prospective payment yaitu metode pembayaran  yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.
Cara pembayaran diatur dalam Pasal 39 ayat (1) sampai (3) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan bahwa:
(1) BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama secara praupaya  berdasarkan kapitasi atas jumlah Peserta yang terdaftar di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama.
(2) Dalam hal Fasilitas Kesehatan tingkat pertama di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan diberikan kewenangan untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang lebih berhasil guna; dan
(3) BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s).

Berdasarkan uraian pasal-pasal baik yang termuat dalam UU BPJS dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, secara normatif kepastian hukum pembayaran jasa pelayanan kesehatan dari BPJS bagi penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) sudah diatur, namun timbul permasalahan kepastian hukum ketika terdapat permasalahan terkait besarnya jumlah pembayaran yang harus dibayarkan oleh BPJS terhadap Penyedia Pelayanan Kesehatan, apabila ada pasien yang mengalami/mengaharuskan ditangani dengan kebutuhan biaya melebihi tarif yang telah ditentukan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini berakibat pada tidak adanya kepastian hukum atas pelayanan kesehatan bagi pasien BPJS Kesehatan untuk menjalani perawatan/pengobatan secara maksimal. Misalnya, pada kasus Ibu Y (penderita kanker payudara), yang  meskipun biaya operasinya gratis karena kesertaan dalam BPJS Kesehatan, tetapi keluarga miskin ini dibebani biaya obat sebesar Rp 2.438.000, dan masih ada kasus-kasus lain terkait dengan adanya pengaturan pembayaran tarif dan pelayanan kesehatan BPJS, dan tentunya hal ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Selain itu adanya ketentuan tarif yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi pasien bertentangan dengan Pasal 5 yang menyatakan: Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Jadi dapat dikatakan bahwa terpenuhinya kepastian hukum pembayaran jasa pelayanan kesehatan dari BPJS Kesehatan hanya bagi penyedia Pelayanan Kesehatan, tetapi tidak terhadap pelayanan kesehatan bagi pasien pengguna jasa kesehatan yang merupakan pasien peserta BPJS Kesehatan. Fenomena ini berakibat pada berkurangnya atau hilangnya pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta BPJS Kesehatan, sementara pihak BPJS Kesehatan tidak bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan kepada peserta dan terhadap kerugian maupun tuntutan yang diajukan oleh peserta kepada pihak rumah sakit yang disebabkan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam menjalankan tanggung jawab profesinya, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan, kesalahan dalam memberikan indikasi medis atau kesalahan dalam memberikan tindak medis.
Dengan adanya ketidakpastian hukum terhadap pelayanan kesehatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan, untuk menjalani perawatan/pengobatan secara maksimal dapat dipastikan bahwa keberadaan BPJS Kesehatan khususnya berkaitan pengaturan mengenai tarif pelayanan kesehatan sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 harus ditinjau ulang karena bertentangan dengan:
a. Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 (empat) yang menyatakan bahwa :“……, dan untuk memajukan kesejahteraan umum…..”;
b. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang menggariskan arah pembangunan kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional;
c. Tujuan kesehatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”;
d. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”;
e. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
f. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan terpadu, terintregasi dan berkesinam-bungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.
g. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif dan norma-norma agama”;

h. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi”;
i. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan; Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan”.
j. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang menyatakan bahwa “BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas: kemanusiaan; manfaat; dan  keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
k. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang menyatakan bahwa “BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya”.
l. Pasal 4 huruf I Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang secara jelas menyatakan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip “hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta”.

Demikian keberadaan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 adalah bentuk ketidakpastian hukum dimana telah terjadi inkonsistensi negara/ pemerintah dalam hal tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat. Seharusnya apabila mengacu peraturan dasar (UUD 1945), maupun peraturan di bawahnya, keberadaan BPJS adalah sebagai implementasi negara dalam mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Di Indonesia pelayanan kesehatan mengacu Pasal 5 UU Kesehatan dinyatakan:
 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Tentunya hak dalam bidang kesehatan menurut Pasal 5 di atas wajib dilaksanakan, karenanya pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau masyarakat dan pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu tetap terjamin. Berbicara hak pasien sesuai Pasal 5 UU Kesehatan, hak tersebut sebagai pijakan dalam perlindungan dan kepastian hukum atas pelayanan kesehatan. Jadi dalam hal ini pemerintah berkewajiban mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan merata serta terjangkau masyarakat. Termasuk dalam hal ini pemerintah wajib memberikan kepastian hukum dalam bentuk jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang diatur Pasal 20 UU Kesehatan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan; dan “Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pasien Peserta BPJS Kesehatan terkait dengan tidak adanya kepastian hukum jasa pelayanan kesehatan BPJS, doktrin Hukum Kesehatan menentukan adanya 2 (dua) bentuk perikatan, yaitu perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis) dan perikatan hasil (resultaat verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, maka prestasi yang harus diberikan berupa hasil tertentu.
Hubungan penyedia jasa kesehatan dan pasien dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yakni berdasarkan perjanjian (ius contractu), disini terbentuk suatu kontrak terapeutik secara sukarela antara rumah sakit dengan pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan bisa dilakukan jika diduga terjadi wanprestasi, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak melakukan atau salah melakukan atas yang telah diperjanjikan. Berdasarkan hukum (ius delicto), di sini berlaku prinsip barang siapa menimbulkan kerugian pada orang lain harus memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut. Selanjutnya perjanjian sendiri dapat dirumuskan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang/lebih yang bersepakat memberikan “prestasi” satu kepada lainnya.
Namun, untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat-syaratnya, yaitu :
a. Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya, yaitu kedua subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian. Mereka menghendaki suatu yang sama secara timbal-balik. Tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena salah pengertian atau paksaan, pemerasan atau paksaan dan adanya penipuan.
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara rumah sakit dan pasien. Orang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya serta mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan mereka sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada  siapa undang- undang telah melarang membuat suatu perjanjian tertentu. Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum berarti, orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam kontrak terapeutik, apabila pasien tidak dapat memberikan persetujuannya terhadapnya, maka dapat diwakilkan oleh wakil dari keluarganya.
c. Adanya suatu hal tertentu. Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak dan kewajiban- kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Terhadap hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu yang sudah tentu jenis atau halnya.
d. Adanya causa yang halal. Suatu causa yang dimaksud dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Artinya perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat suatu hal tertentu dan causa yang halal merupakan syarat obyektif dalam perjanjian sehingga bila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian itu dianggap tidak pernah lahir sehingga tidak pernah ada akibat hukumnya.
Pada transaksi terapeutik, kedua belah pihak secara umum terikat oleh syarat diatas, dan bila transaksi itu terjadi maka antara kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan peserta BPJS Kesehatan yang terkena infeksi nosokomial terhadap PPK berdasarkan perundang-undangan, pasien dapat melakukan tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut Pasal 1365 KUHPerdata, pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya. Tetapi terdapat juga ketentuan hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan karena kesalahan sendiri, pasien harus menanggung kerugian. Dari rumusan ini dapat dikatakan pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan pelaku. Dasar tuntutan dari pasien dalam Pasal 58 ayat (1) UU Kesehatan yang menyatakan “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Namun apabila menganalisis hubungan hukum pasien pemegang kartu BPJS bukan hanya dengan penyedia jasa kesehatan, melainkan melibatkan pihak Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional, dimana pasien peserta BPJS Kesehatan tidak terlayani dengan baik, maka upaya yang dapat dilakukan dengan tahapan yaitu:
1. Melakukan Pengaduan  pada Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Pengaduan Peserta BPJS dengan dasar Pasal 48  ayat (2) UU BPJS yang menyatakan bahwa “BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pengaduan”.
2. Terhadap langkah pengaduan, apabila dalam pengaduan ternyata tidak dapat diselesaikan, pasien peserta BPJS Kesehatan dapat melakukan upaya mediasi dengan dasar  Pasal 49 ayat (1) UU BPJS bahwa pihak yang merasa dirugikan yang pengaduannya belum dapat diselesaikan oleh unit maka  penyelesaian sengketanya dapat dilakukan melalui mekanisme mediasi.
3. Apabila baik upaya pengaduan maupun mediasi tidak terselesaikan, pasien peserta BPJS Kesehatan dapat melakukan upaya hukum penyelesaian sengketa melalui pengadilan didasari Pasal 50 UU BPJS bahwa dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan peserta melalui mekanisme mediasi tidak dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.
4. Pasien peserta BPJS Kesehatan selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan dapat menggunakan instrumen hukum perlindungan konsumen dengan dasar  Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Bahwa Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pengadilan berada di lingkungan peradilan umum;
b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur undang-undang;
d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
Demikian dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum pembayaran jasa pelayanan kesehatan telah memberikan kepastian hukum terhadap Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturaan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Namun demikian masih tidak memberikan kepastian hukum terhadap peserta non PBI BPJS Kesehatan ketika terjadi masalah terkait dengan besarnya jumlah pembayaran yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan terhadap Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK), apabila terdapat pasien mengalami/ mengharuskan ditangani dengan kebutuhan biaya yang melebihi tarif yang telah ditentukan BPJS Kesehatan. Adapun akibat hukum apabila tidak ada kepastian hukum atas jasa pelayanan kesehatan, yaitu terjadi inkonsistensi antara peraturan yang ada dengan pelayanan kesehatan yang terjadi di PPK, telah terjadi inkonsistensi negara/pemerintah dalam hal tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh pasien peserta BPJS Kesehatan terkait dengan tidak adanya kepastian hukum atas  jasa pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan berdasarkan ketentuan hukum yaitu: a) Pasien dapat melakukan tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut Pasal 1365 KUH Perdata; b) melakukan gugatan berdasarkan Pasal 58 ayat (1) UU Kesehatan; c) melakukan Pengaduan  pada Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Pengaduan Peserta BPJS dengan dasar Pasal 48  ayat (2) UU BPJS; d) Melakukan upaya mediasi dengan dasar  Pasal 49 ayat (1) UU BPJS; e) Melakukan upaya hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan, dengan dasar Pasal 50 UU BPJS; dan f) dapat mendasari gugatan dengan Pasal 45  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.













BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tesis hukum ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum atas hak peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan bahwa setiap orang berhak atas hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. Oleh karena pemerintah tidak mungkin dapat menanggung sendiri, maka ditetapkan secara yuridis kewajiban bagi masyarakat dan pemberi kerja menjadi peserta BPJS Kesehatan sebagaimana rumusan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS. Namun, penetapan kewajiban masyarakat dan pemberi kerja menjadi peserta BPJS Kesehatan ini terindikasi melanggar Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, dalam hal pelayanan kesehatan tidak dibatasi dan dibeda-bedakan sesuai prinsip keadilan, dan tidak semestinya membebankan biaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
2. Jaminan hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terhadap hak Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dalam memberikan pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Peraturaan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Namun hal ini belum memberikan kepastian hukum bagi peserta non PBI BPJS Kesehatan ketika terjadi permasalahan dengan besarnya jumlah pembayaran, dimana apabila ada peserta BPJS Kesehatan yang mengharuskan ditangani dengan pelayanan kesehatan yang melebihi tarif BPJS Kesehatan, maka kelebihan dan/atau pelayanan diluar tanggungan BPJS menjadi tanggung jawab sendiri. Akibat hukum apabila tidak ada kepastian hukum atas jasa pelayanan kesehatan, yaitu terjadi inkonsistensi antara peraturan dengan pelayanan kesehatan yang terjadi di PPK, biasanya peserta BPJS yang akan dirugikan karena pelayanan kesehatan yang layak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.



B. Saran
Berdasarkan kesimpulkan tesis hukum ini dapat disarankan sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam keikutsertaan BPJS Kesehatan, disarankan pihak berwenang melakukan kampanye massal kepada masyarakat mengenai penting dan manfaatnya menjadi Peserta BPJS Kesehatan, dan mengedukasi (mendarankan) Peserta BPJS Kesehatan untuk membayar iuran tepat waktu, optimalisasi fungsi pengawasan BPJS Kesehatan (melibatkan peran serta masyarakat) terhadap Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) sebagai upaya preventif agar tidak terjadi kecurangan atau manipulasi data yang merugikan BPJS Kesehatan.
2. Perlunya meninjau kembali Kontrak Kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) agar menjadi komitmen bersama dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan; memberikan kepastian hukum, misalnya untuk memperkuat posisi Para Pihak Perjanjian Kerjasama ini harus mempunyai payung hukum terkait klausul bahwa apabila pengakhiran perjanjian di tengah jalan tidak menghapuskan hak dan kewajiban yang telah timbul, termasuk tidak mengabaikan atau mengorbankan pelayanan kesehatan yang menjadi hak peserta BPJS Kesehatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kode Etik Kedokteran KODEKI